Ku menapaki jalan ini...
Terasa begitu sulit,
Aku tak tahu apa yang hendak dicari.
Langkah
ini terus saja membawaku pergi dari keramaian dunia, dan berakhir pada
duniaku sendiri. ya dunia yang kubuat sendiri.. “khayalan”.
Akhh, kufikir itu bukan yang terbaik,
Kuputuskan untuk istirahatkan tubuh ini di sebuah Cafe, ya “cappuccino
cafe”. Mungkin akan sedikit lebih tenang jika aku berada di sini, batinku.
Di tengah rintik hujan, ditemani dengan secangkir cappuccino
coffee aku duduk di salah satu bangku bernomor 22, ya itu adalah angka
kesukaanku.
“Ehmm.. wanginya aroma kopi ini”, ucapku.
Lalu
aku mulai mengambil sebuah catatanku, ya bisa dibilang sebuah diary yang
berwarna biru, kutuliskan tentang perasaanku pada diaryku...
Jakarta, 09 Juli 2014
Hei biruuu,
Kali ini aku akan menulis sedikit tentang perasaanku hari ini, aku tak tahu apa yang terjadi pada hatiku ini, aku bingung...
Mengapa aku tak bisa melupakan dia, dia yang kuharapkan sejak pertama kali bertemu tak pernah tau apa yang sebenarnya ku rasa...
Mengapa terasa sulit, sulit mengungkapkannya...
Andai saja dia tahu...
“Dona..”, seperti ada yang memanggilku.
Aku mencari sumber suara tersebut, tapi tak kutemukan siapapun.
“Mungkin hanya khayalanku saja”, pikirku.
Kulanjutkan secangkir kopi yang kupesan, tapi terdengar suara itu lagi, suara yang khas.
“Seperti kukenal pemilik suara ini”, batinku.
Kutoleh ke depan dan ternyata seorang lelaki telah berdiri di depanku.
Dialah
yang selama ini kutunggu. Djoko..., ternyata dia ada di sini, aku tak tahu
apa ini hanya kebetulan saja, atau para Dewa memang sudah mengaturnya,
semoga saja.
“Sedang apa kamu di sini?”, tanyanya.
“Ah, aku hanya sedang menikmati suasana dingin dengan secangkir cappuccino panas, kamu mau?”, aku menawarkannya.
“Boleh, biar aku yang traktir”. pintanya.
Akhirnya aku dan dia menghabiskan waktu bersama, membicarakan hal yang menurutku indah.
“Don, temani aku ke suatu tempat yuk!”, ajaknya.
“Dengan senang hati”, Dona mengangguk yakin.
Akhirnya mereka sampai di sebuah tempat yang sangat ramai,
“Untuk apa kita ke sini?, seperti anak kecil saja” ucapku.
“Hahaha..., memangnya hanya anak kecil saja yang boleh ke sini, sudahlah ayo kita naik balon udara itu”, ajaknya.
Di
atas sana ternyata pemandangan begitu indah, wahhh... tidak kusangka
seindah ini jika dilihat di malam hari, bertabur bintang di hamparan
langit luas. Aku tidak akan menyia-nyiakan momen ini, kuambil ponselku
dan... zprattt.. zprettt... lumayan untuk kusimpan.
Rasa lelah melengkapi perjalanan kita hari ini, tak luput perasaan senang dan senyum di bibirku terus tersungging manis.
“Kau tidak merasa lelah?” tanya Djoko.
“Tidak, hari ini terasa menyenangkan untukku, oh iya terima kasih untuk hari ini” ucapku.
“Sudah, kau tak usah berterima kasih seperti itu, karena aku pun merasakan hal yang sama”, tersenyum kepadaku.
Kurebahkan
tubuhku di atas ranjangku yang empuk, kutatap langit-langit yang
bertabur bintang di langit kamarku, senyum ini tak bisa lepas dari
bibirku... sekilas wajah Djoko yang kurus kerdil terbayang di otakku,
hahaha... lucu sekali dia.
“Oh iya, di mana boneka itu?” ucapku.
Aku mencari cari boneka pemberian darinya, boneka berbentuk bintang. Itu memang kesukaanku,
Tiba-tiba…
zrttt-zrttt…
“Siapa malam-malam begini menelfonku”, batinku.
“Hallo Dona, apa aku menggangumu?”, terdengar suara lelaki di seberang sana.
“Oh, iya tidak, ada apa?”, tanyaku bingung, karena tak ada angin, tak ada hujan dia menelfonku.
“Aku membutuhkanmu, aku tunggu kau di taman dekat rumahmu”,
“Ahh.. kenapa tidak…” belum selesai aku berbicara tapi telah terputus..
“Tuuutt…”, hah dasar nakal anak itu, seenaknya saja dia mematikannya, batinku.
Di Taman...
“Hoshh...
hoshhh… ada... hosh... apa kamu... hoshh... menyuruhku... ke tempat ini...?”
terasa lelah diriku karena terus berlari, mengingat ini sudah malam.
“Cepatlah duduk, ada sesuatu yang ingin aku katakan”, kata Bowo.
Hatiku jadi merasa tak tenang, mengapa dengan dia? apa yang ingin dikatakannya? membuatku penasaran saja.
“Kenapa kamu Don, capek?”, tanyanya. “Jelas saja aku capek, dia kan yang memintaku untuk segera menemuinya”, batinku.
“Don,
sini duduklah disebelahku”, pintanya. Aku pun duduk mengikuti
ajakannya, di samping badannya yang kekar layaknya bintang iklan susu
buat para lelaki, walaupun memang sedikit buncit.
“Kau lihat bintang di atas langit sana?”
“Iya, memangnya ada apa dengan mereka?”
“Mereka begitu indah, apalagi bintang yang bersinar terang itu”, mengarahkan telunjuknya ke atas langit di sana.
“Kamu tahu mengapa aku mengajakmu ke sini?”, tanyanya, dan aku hanya diam sambil menggelengkan kepala.
“I look up to the stars, hoping you’re doing the same”.
“Whattt? Apa maksudmu?”, tanyaku yang memang sebenarnya tidak tahu apa maksud dari ajakannya menyuruhku datang menemuinya.
“Mereka terlihat indah, dan… kamu tahu, satu bintang yang bersinar terang itu?” katanya sambil menunjuk ke atas langit sana.
“Bintang
itu seperti dirimu, bintang yang selalu bersinar lebih terang di atas
langit sana, yang menghiasi indahnya malam.” Jelas Bowo panjang lebar.
“Apaa? Apa katamu, aku? Apa kamu tidak salah”, Tanyaku tak percaya akan ucapannya tadi.
“Tidak, aku hanya ingin kamu bisa menemaniku malam ini untuk melihat bintang yang indah”.
“Kenapa harus aku?”
“Karena aku menyukaimu Dona,”
Seakan
tak percaya dengan apa yang dibicarakan Bowo, Dona pun bangkit dari
duduknya, dan pergi berlari. Tapi saat Dona akan berlari, Bowo menarik
pergelangan tangannya.
“Tunggu Dona, kamu mau ke mana?”
“Sudah,
lepaskan aku. Kamu pembohong, selama ini kita selalu bertengkar, kamu
dan aku tak pernah akur. Kamu itu menyebalkan, kamu selalu menggodaku.”
“Aku
begitu karena aku menyukaimu, jujur Don… selama ini diam-diam aku
menyukaimu, aku mencari gara-gara padamu karena aku ingin mendapat
perhatian darimu.”
Dona menangis, karena memang selama
ini mereka selalu bertengkar seperti kucing dan anjing. Dan kenapa harus
dia yang menyatakan cinta padanya, kenapa bukan Djoko, lelaki yang
selama ini dia sukai.
“Dona, kamu jangan menangis seperti itu, aku
tahu kamu tak menyukaiku, tapi satu hal yang aku pinta darimu, jangan
kamu membenciku, dan tetaplah tersenyum seperti ini.” Bowo menunjukkan
senyum simpulnya pada Dona.
Malam itu pun berlalu, Dona pulang dan
mengistirahatkan dirinya dengan perasaan yang penuh rasa bimbang,
sebenarnya memang ada rasa di hatinya untuk Bowo, tapi rasa cintanya
pada Djoko lebih besar.
Begitu pula dengan Bowo, ada rasa senang di hatinya karena telah mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Bagaimanakah dengan Dona? Apakah dia akan menerima cinta Bowo, ataukah dia akan menyatakan cintanya pada Djoko?
Memang
diakuinya bahwa Bowo adalah tipe lelaki idaman para wanita seantero
jagad. Nama lengkapnya saja masuk dalam bibit, bobot dan bebet sebagai
lelaki idaman setiap wanita, di samping gelimangan harta yang mungkin
saja asal usulnya dari nenek moyangnya. Atau mungkin dari nenek
moyangnya yang bergelar Notonogoro. Namun ada selaksa ragu, Bowo yang
gemar bertengkar dan selalu akrab dengan kekerasan.
Di
lain sisi, “hatiku adalah milikmu Djoko…”, gumamnya. Ia telah terpaut
pada sesosok kurus kerempeng bernama Djoko, yang mungkin lahirnyapun dari
pohon bambu, sesosok lelaki dari masyarakat kebanyakan dan tidak
memiliki garis bibit, bobot dan bebet sebagai idaman wanita. Hingga ia
menuliskan sebait puisi pada diarynya:
Hembusanmu,
Ketika angin berada di sisiku...
Terkadang tak kusadari,
Karena ia berhembus dengan kasihnya hingga ku terbuai...
Ketika angin itu beranjak dariku,
Kusadari betapa ia kubutuhkan,
Kini kurindukan ia dengan segala keterbatasanku,
Dan ketika mentari kulihat...
Sampai senja datang,
Hingga bulan dan bintang, rukun hiasi langit malam,
Ku yakin ia akan datang,
Hembuskan kasihnya kembali,
Andai saja dia tahu,
Betapa menumpuknya rasa cinta ini,
Rindu yang tak terbendungkan dalam sanubari…
Kan kutitipkan seluruh rasa di pundak burung cicit,
Bersemangatlah menerima rindu yang selalu bangkit.
https://www.facebook.com/notes/r-yacob-christian-sihombing/twins-amore/783407678377946
No comments:
Post a Comment