Showing posts with label Falsafah Jawa. Show all posts
Showing posts with label Falsafah Jawa. Show all posts

Friday, December 9, 2016

Sepi ing pamrih rame ing gawe



“Sepi ing pamrih rame ing gawe” menanamkan pada kita bahwa bekeja keras itu tak perlu banyak pamrih. Pamrih boleh ada, asalkan sepi-sepi saja dan gawe-nya banyak. Jadi, kalau mau bantu orang, tidak perlu memikirkan pamrih. Meninggalkan kesan baik pada orang yang kita bantu itu harganya jauh lebih luar biasa daripada pamrih yang kita harapkan.


Orang yang ikhlas melaksanakan suatu pekerjaan tanpa mengharap sesuatu, inilah yang disebut “Sepi ing pamrih”. Tidak ada motif pribadi dalam dirinya kecuali ibadah dan pengabdian kepada sesama. Kalau orang menghargai hasil kerjanya, itu masalah lain.

Sunday, December 4, 2016

Ajining diri dumunung ana ing lathi

Artinya nilai diri (pribadi) seseorang terletak pada lidahnya (ucapannya), sedangkan nilai badan terletak pada pakaian yang dikenakan. Lebih jelasnya, dipercaya atau tidaknya seorang manusia tergantung dari lisan, ucapan, dan perkataan.
Peribahasa ini merupakan nasihat agar berhati-hati terhadap kata dan kalimat yang kita ucapkan. Sepatah dua patah kata yang meluncur dari lisan (mulut) kita akan didengar dan diperhatikan orang lain. Maka setiap ucapan harus diiringi dengan pertimbangan yang matang. 
Contohnya apabila sering berbohong dan tidak konsisten dalam berkata-kata, lama-kelamaan orang akan hilang kepercayaan. Siapapun yang suka mengucapkan kata-kata pedas, kasar, menusuk hati, tentu akan sulit membangun persahabatan. Sebab orang-orang akan menganggap bahwa yang bersangkutan memang suka melukai perasaan orang lain.

Tinggal glanggang colong playu . . .



Dalam bahasa Jawa, pepatah tinggal glanggang colong playu, menggambarkan tentara yang meninggalkan arena peperangan, bermakna orang yang tak bertanggung jawab.

Nilai seseorang dalam hidup ini tergantung dari rasa tanggung jawabnya. Makin tinggi nilai tanggung jawabnya makin tinggi kualitas hidupnya.

Tanpa bermaksud menggunjingkan orang lain, apalagi menyebut nama seseorang, atau  kelompok tertentu, namun apa yang terjadi di sekitar kita dapat dijadikan sebuah pelajaran bagaimana kepercayaan dan tanggung jawab menjadi salah satu kunci menjadikan seseorang lebih terhormat serta disegani orang lain.

Tanpa itu, sebenarnya kita sedang menghinakan diri sendiri.

Dalam illustrasi gambar, kerakusan si togog atas tahta, harta, berujung pada kaburnya ia dari arena "demo-demo-an" yang sedang marak belakangan ini. Sial sekali,  ia tidak termasuk dalam tim ke-11-an yang terpilih.

Ke mana si togog gerangan pergi?

Saya agak curiga pada saat "demo-demo-an" kemarin, nampak si togog tak serius, tumben-tumbennya ia membawa kembang mawar, simbol dari cinta tak biasanya begitu. serius sikitlah gog . . .!!! 
Seperti lagunya mbak Ayu Tingting, biasanya tak pake minyak wangi, tiba-tiba . . .

Jangan-jangan ia sedang menyempurnakan ketiga unsur tahta, harta dan wanita, dengan mabuk janda. Sebelum berkuasa, tak apalah, discount dengan beli 1 dapat 2 dulu.

Saturday, November 26, 2016

Becik Ketitik Ala Ketara


Becik artinya kebaikan, ketitik artinya ditengarai, ala artinya kejahatan / keburukan, dan ketara artinya ketahuan. Becik ketitik ala ketara, dengan demikian berarti, bahwa kebaikan itu akan selalu ditengarai, dan kejahatan itu akan selalu diketahui (meskipun) disembunyikan. Persoalannya, hanya waktunya.

Ajaran itu menamsilkan, bahwa kebaikan itu, akan selalu ditemukan, meskipun tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh kejahatan. Tidak jarang, justru kejahatan yang lebih tampak dan mengesankan menang. Namun, orang yang percaya dengan ajaran Jawa itu yakin, bahwa kebaikan akan muncul juga, mengalahkan kejahatan. Atau dengan perkataan lain, meskipun kebaikan (dan kebenaran) itu tersembunyi, akhirnya akan muncul juga, mengatasi kejahatan (kesalahan). Ajaran Jawa seperti itu, sebenarnya universal.

Bahwa menyembunyikan kebenaran / kebaikan dan menutupinya dengan kejahatan / kesalahan itu tidak mudah. Lama-lama, pasti akan ketahuan / terbuka, mana yang benar / mana yang salah, mana yang baik / mana yang jahat. Katakanlah kebaikan / kebenaran, di manapaun akan ditemukan. Sedangkan kejahatan / kesalahan, meskipun disembunyikan, akhirnya akan ketahuan juga. Di sinilah, bagi yang suka menyembunyikan / menutup-nutupi kejahatan, berlaku pepatah Indonesia, kurang lebih berbunyi: sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga.

Wednesday, November 23, 2016

Gegedhen Empyak Kurang Cagak


Pepatah Jawa gegedhen empyak kurang cagak, artinya adalah atap rumah yang terlalu besar sementara tiangnya kurang. Bila kita membuat atap yang ukurannya besar tapi jumlah tiang-tiangnya kurang, atap tetap bisa berdiri tapi lama kelamaan ambruk bila hujan lebat atau terkena angin kencang. Karena berat atap nggak mampu disangga oleh tiang-tiangnya. Pepatah di atas juga bisa diartikan seseorang yang ingin tampil mewah dan dianggap wah oleh lingkungan sekitarnya. Namun tidak didukung oleh kemampuan dirinya yang sebenarnya. Kemampuan itu bisa dalam bentuk keuangan, kesehatan atau pengetahuan.


Dalam bahasa Indonesia pepatah tersebut kurang lebih sama artinya dengan Besar Pasak daripada Tiang. Namun peribahasa tersebut lebih ditujukan pada seseorang yang memiliki pengeluaran lebih besar daripada pendapatan atau penghasilannya.

Monday, November 21, 2016

Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha.


Artinya: 

➤ Berjuang tanpa perlu membawa massa; 

➤ Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; 

➤ Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; 

➤ Kaya tanpa didasari kebendaan.



➤➤➤ Asalkan jangan, madang tanpa mbayar . . .



Saturday, November 19, 2016

Adigang, Adigung, Adiguna



Ungkapan adigang, adigung, adiguna sangat populer dalam masyarakat Jawa. Ungkapan ini berisi nasihat agar seseorang tidak berwatak angkuh atau sombong seperti watak binatang yang tersirat dalam ungkapan ini. Adigang adalah gambaran watak kijang yang menyombongkan kecepatan / kekuatan larinya. Adigung merupakan watak kesombongan binatang gajah yang karena besar tubuhnya selalu merasa menang dibandingkan hewan yang lainnya. Adiguna sebagai gambaran watak ular yang menyombongkan dirinya karena memiliki bisa / racun yang ganas dan mematikan.

Sebagai orang Jawa yang sangat mementingkan watak andhap asor atau lemah lembut (rendah hati), maka tidak selayaknya memiliki watak sombong dan angkuh tersebut. Dan sebagai manusia yang mengakui bahwa hidup memerlukan orang lain, maka seseorang harus menjauhi watak menyombongkan kekuatan, kebesaran tubuh, dan kewenangannya.

Tidak sepatutnya seseorang yang memiliki kekuatan / kemampuan fisik berwatak seperti sombongnya kijang, dan memanfaatkan kekuatan itu untuk merugikan orang lain. Demikian pula halnya dengan orang yang memiliki tubuh yang besar, tidak selayaknya meniru gambaran sombongnya gajah yang menggunakan kebesaran tubuhnya untuk memaksakan kehendak kepada yang kecil. Dan juga, tidak pada tempatnya seseorang yang memiliki kekuasaan sehingga ucapannya dijadikan panutan dan pedoman bagi orang lain, bawahan atau anak buah, bersikap menyombongkan diri sebagaimana watak sombong dari binatang ular, yang bisa / racunnya dapat mencelakai orang lain.


Ungkapan adigang, adigung, adiguna merupakan peringatan kepada siapapun yang memiliki kelebihan (kekuatan, kedudukan atau kekuasaan) agar tidak bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain, terutama terhadap orang kecil. Sebagai orang yang memiliki kekuatan, kedudukan, dan kekuasaan, ia seharusnya memahami bahwa semua hal tersebut adalah amanat yang harus diperankan dengan baik dan dijalankan seadil-adilnya. Kedudukan yang semakin tinggi, keluasan ilmu, dan kekuasaan yang semakin besar janganlah menjadikan kita semakin sombong di hadapan orang lain. Seseorang harus selalu menyadari bahwa kekuatan yang dimiliki, kedudukan yang dicapai, kekuasaan yang melekat pada dirinya sekedar pinjaman dimana yang meminjamkan semua itu tidak lain adalah masyarakat dan Tuhan.

Jika semua yang melekat pada diri kita telah diminta kembali oleh Yang Memberi Pinjaman (yakni masyarakat dan Tuhan), maka status kita akan kembali menjadi manusia biasa.