Showing posts with label Catatan. Show all posts
Showing posts with label Catatan. Show all posts

Sunday, January 8, 2017

Mungkin terlalu jauh jika judulnya, Uruslah Sertifikat Kentut Anda, Jika Anda Tidak Mau Dipidanakan....


Mengikuti perkembangan belakangan ini, membuat kita harus merenungkan kembali makna berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila yang menekankan pada semboyan yang dicengkram kuat oleh kaki burung garuda, BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Apakah toleransi atas ke-bhinneka-an itu adalah sesuatu yang semu dan fiktif belaka? Terpaksa dan tidak tulus dari hati? Hanya agar “sekonyong-konyong” di mata dunia, kitalah bangsa yang paling berjasa ber-“telolet”? Mungkin hanya kita dan Tuhan yang tahu, apa yang ada dalam pikiran kita. Atau perlu kita pertanyakan pada rumput yang bergoyang?
Tak dapat kita tampik bahwa memang pada saat-saat menjelang terjadinya proses demokratisasi baik melalui pilpres, pilleg, ataupun pilkada, banyak terjadi hal-hal yang kita sendiri tidak mengetahui apa yang harus kita perbuat, mereka yang telah melakukannya-pun “tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Inikah pesta demokrasi itu? Ataukah ini sebagai sebuah pertanda “musibah reformasi”? Dan bagaimana masa depan bangsa dan negara ini? Akankah kita simpan dengan rapi dan lebih dalam di rak, kaset-kaset Gombloh yang bernuansa nasionalisme, seperti Kebyar Kebyar? Mungkinkah sebagian di antara kita ini sudah setengah gila? Jika memang demikian, saya hanya berpesan, jangan gila-lah...
Terkadang geli bercampur geram kita melihat keadaan. Kemanakah sirna nurani embun pagi, yang biasanya ramah dari bangsa ini? Kita memang sudah ditakdirkan menjadi manusia-manusia yang sabar dan tidak gampang “terbakar”. Kita syukurilah itu, sebab jika tidak, maka kita-pun akan hangus di dalamnya. Bukan hanya dengan mereka yang memiliki perbedaan secara prinsip relatif jauh hal-hal begini terjadi, tetapi dengan kita yang sealiran-pun kerap hal seperti ini juga terjadi. Jika kita meniliknya semua dari sudut perbedaan, tentu antar saudara kembar-pun akan ada perbedaan. Sehingga akan ada celah untuk mengatakan bahwa si A1 dan A2 memang berbeda.
Dalam cerita humor pewayangan, memang segala sesuatu itu ada pakemnya. Kisah berikut ini hanya sekedar illustrasi belaka. Tetapi agar kita sedikit banyak merenungkan artinya perbedaan yang ada di antara kita, termasuk perbedaan pilihan politik.

Karang Kedampel kembali heboh. Setelah hilangnya Semar dalam jagat Arus Bawah-nya Cak Nun, si tua bertubuh tambun itu pun muncul kembali. Kini, kehadirannya untuk menentukan keputusan yang nggak amat-amat penting, tetapi sangat diperlukan untuk meluruskan sejarah dan menjaga adat budaya.

“Sudah semestinya Petruk diberi pelajaran, Romo,” ujar Gareng, sambil melinting tembakau srintil-nya.
“Hmm…, apa sebetulnya kamu ingin mengatakan kalau Romomu ini tidak mendidik adikmu, Reng?” tanya Semar yang leyeh-leyeh di dipan bambu.
“Bukan begitu, Mo. Tetapi alangkah baiknya jika si hidung panjang itu dikasih pelajaran lagi. Ya, agar tindak-tanduknya tidak merusak kebangsawanan keluarga.”

Semar yang mendengar hanya mesem kecut. Ia paham maksud anaknya, tetapi salah apa si Petruk. Bukankah memang begitu kelakuannya: menerjang aturan yang berlaku?
“Tingkah laku Petruk sudah menjadi perbincangan hangat di jagat maya, Mo. Kemarin, saat merti desa tiba-tiba ia kentut yang tidak selazimnya,” ungkap Gareng.
Lha dalah…, apa kentut bukan hal yang lazim, Reng? Bukankah kentut memang begitu adanya: keluar dan menyesap ke semua hidung?”
“Tetapi kentut Petruk sudah merusak tatanan, merobohkan paugeran desa, Mo. Boleh saja kentut, tetapi mbok ya sesuai dengan aturan yang berlaku.”
“Hahaha…. Kamu mengada-ada, Reng. Kentut kok merusak paugeran. Sejak kapan kentut masuk paugeran?”
“Sejak orang menyepakati perihal bunyi kentut, Mo.”
“Siapa yang menyepakatinya?”
“Orang-orang yang ahli kentut dan membunyikannya dengan baik. Lalu,  ilmu berkentut itu diturunkan kepada orang-orang di sekitarnya.”
“Apa mereka yang menerima ilmu berkentut itu mengikuti?”
“Iya, Mo. Bahkan, saking banyaknya peminat, para suhu itu akhirnya membuka kursus berkentut. Semakin hari semakin banyak peminatnya. Mereka sampai kerepotan mengasuhnya. Kemudian, mereka mempunyai ide untuk membuat jadwal kursus kentut yang sahih.”
Semar hanya bisa dlongo mendengar ujaran anaknya.
“Romo nggak usah heran. Itulah kenyataannya di Kareng Kedampel ini. Seharusnya Romo sebagai lurah lebih mahfum perihal kentut.”
“Yang aku heran, kok ya ada orang tertarik dengan cara berkentut, Reng.”
Lha, Romo ini bagaimana, bukankah kentut menunjukkan kepribadian seseorang? Semakin pintar berkentut berarti orang yang bersangkutan juga lihai dalam kehidupannya, Mo. Apa Romo tidak pernah kentut sehingga tidak tahu cara berkentut?”
Ngawur kamu. Aku kentut saat orang-orang sedang tidur, sedang berkelana di alam mimpinya. Bahkan, kentutku di alam mimpi, Reng.”
“Romo hebat.”

Semar menggeliat, perutnya sedikit mules. Ada sesuatu yang ingin menyeruak dari lubang anginnya, tetapi cepat-cepat ia menahannya. Sebab, ia sudah terlanjur berucap kalau kentutnya hanya pada saat mimpi. “Lantas, apa yang dihebohkan dari kentutnya Petruk, Reng?” tanyanya kemudian.
“Kentut Petruk tidak selumrahnya kentutnya orang-orang Karang Kedampel, Mo. Boleh dibilang, kentutnya Petruk membuat runyam Jonggring Saloko. Nah, yang dikhawatirkan para penduduk Karang Kedampel adalah murkanya Sang Hyang.”
“Wah, segitu gawatkah, Reng?”
“Bisa jadi, Mo.” Gareng berhenti sejenak. Hidungnya yang mulai mbeler ia usap dengan kaus partai yang ia dapatkan dari kampanye kemarin. Ia bertutur lagi, “Romo pasti tahu, kalau tata cara membunyikan kentut di Karang Kedampel hanya ada tujuh jenis: cas, ces, cis, cos, cus, tut, dan tot. Kemarin, bunyi kentutnya Petruk tidak memenuhi kelima jenis cara berkentut tersebut.”
“Terus, bunyi kentutnya Petruk bagaimana Reng?”
“Pokoknya lucu, Mo. Konon, kentutnya Petruk membuat telinga orang merasa geli. Ada yang beda.”
“Hahaha…, jangan-jangan mereka yang protes itu memang tidak akrab dengan bunyi kentutnya Petruk?”
“Jelaslah, Mo. Kalau akrab tentu mereka tidak akan protes dan menganggap kentutnya Petruk itu bid’ah mughaladhah!”
“Hahaha…, pasti orang-orang protes itu ketularan penyakit dari Negeri Kolo-Kolo, Reng.”
“Aku tidak tahu, Mo. Yang pasti, tugas Romo sekarang adalah membenarkan cara berkentutnya Petruk. Jangan sampai Sang Hyang murka hanya gara-gara kentut yang merusak paugeran.”
“Sebentar, Reng. Sebelum kita menegur Petruk, alangkah baiknya kalau kita mencoba menelisik bunyi kentut yang sudah menjadi pakem di Karang Kedampel ini.”

Keduanya diam sejenak, tetapi tangan mereka saling berebut ubi rebus yang tinggal secuil. Ah, akhirnya Gareng yang berhasil mengambil sisa camilan tersebut.
“Apakah kamu tahu, Reng, kalau sejatinya Sang Hyang memakemkan bunyi kentut?”
“Tidak, Mo. Yang aku tahu sekadar ‘berkentutlah yang sopan’. Itu saja.”
“Kalau begitu, berarti Dia membolehkan hamba-Nya kentut dengan suara-suara tertentu, misalnya kentut ala Petruk?”
“Aku juga tidak tahu, Mo. Mungkin saja boleh.”
“Kalau kamu tidak tahu, kenapa ikut-ikutan menghujat kentutnya Petruk?”
“Karena orang-orang mengatakan kentutnya Petruk tidak sesuai pakem, Mo.”
“Pakem yang tujuh itu?”
“Iya, masak ada lagi?”
“Lantas, kamu tahu asal-usul, sejarah, munculnya tata cara membunyikan kentut yang tujuh itu?”
“Tidak, Mo. Yang aku tahu, konon, bunyi kentut yang sudah menjadi pakem itu diajarkan oleh para guru yang datang dari negeri seberang.”
“Bagaimana kalau ternyata pakem perkentutan yang telah diajarkan oleh para guru itu tidak lain sebuah kebiasaan melagukan kentut dari negeri asalnya? Gampangnya, kentut itu hanyalah bunyi-bunyian hasil budaya dari negeri tersebut?”
“Bisa jadi, Mo. Namun, itu sudah menjadi lagu yang diamini banyak orang, Mo. Siapa yang ingin berkentut, selagi masih di Karang Kedampel, harus manut dengan paugeran tersebut.”
“Nah, inilah celakanya kita. Tidak pernah menelisik asal-usul tersebut. Kita hanya manut dan menganggap bunyi kentut yang tujuh itu seolah-olah dari langit. Padahal, Sang Hyang menciptakan kentut yang sama. Yang membedakan adalah dari silit siapa gas beracun itu keluar. Soal bunyi, itu sangat tergantung bentuk dan tebal tipisnya lubang angin tersebut. Tak ada perintah melagukan kentut, yang ada adalah berkentutlah dengan baik.”
“Kalau begitu, apa kelak akan ada kentut yang dibunyikan dengan jazz, Mo?”
“Boleh jadi. Tetapi, aku kira sangat-sangat tidak mungkin.”
“Kenapa, Mo?”
“Ya, selagi masih ada paugeran seperti yang kamu katakan itu.”

Hingga sekarang kentut Petruk menjadi berita hangat di media-media online Karang Kedampel. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Padahal, masyarakat kahyangan adem ayem menghadapi kentutnya Petruk. Biasalah dunia online, maya, siapalah yang tahu batang hidungnya.

Dan kehidupan Karang Kedampel yang suka membesar-besarkan masalah akan terus begitu sampai elek, sampai tuek. Pokoknya njeplak, eksis, njeplak, eksis. Dan itu sudah gawan bayi. Makanya berisik!

Saturday, December 3, 2016

Siapakah (sesungguhnya) sesamaku???



Saya yang tadinya mengintip, akan merasa malu. Rasa malu, dengan demikian menyadarkan saya akan diri saya sendiri. Kesadaran tak refleksif atau spontan yang tadinya terfokus pada objek yang saya intip, akhirnya kemasukan kesadaran akan saya sendiri. Saya sadar akan diri saya atau subjektivitas diri saya, karena saya menjadi objek orang lain. ……………Jean-Paul Sartre

Orang lain menyatakan diri kepada kita melalui wajah-nya. Dalam keindrawian, wajah seorang lain menyatakan diri.…………… Emmanuel Lévinas

Siapakah sesungguhnya sesamaku???


Nagabonar, datanglah . . .



Politik membuat logika kita kadang menjadi bolak balik.
Kepala pindah ke kaki, sehingga otakpun ada di dengkul.
Kaki pindah ke tangan, sehingga kita ingin bermain bola dengan tangan, alias tawuran.

Apakah negeri ini akan lebih lucu dari jamannya Bang Nagabonar dulu???



Friday, December 2, 2016

ABCDEFGHIJK




Seorang nenek menguping pembicaraan remaja yg lagi pacaran di taman.
Ce : “Kamu cinta tidak sama aku? ”
Co : “Cinta donk…”
Ce : “Kita telah pacaran 4 bln , apa buktinya? ”
Co : “ABCDEFG”
Ce : “Apa tuh? ”
Co : “A Boy Can Do Everything For Girl…”
Ce : “So sweet..."

Lalu... Si nenek iri & kesal, Lantaran telah nikah 40 th tidak pernah dpt rayuan seperti itu.
Sang nenek segera pulang & bertanya pada si kakek...

N : “kek, kakek cinta gak sama aku? ”
K : “Iya lah…”
N : “Buktinya apa? ”
K : “Buktinya kita tlah bersama selama 40 thn toh…”

Nenek ngotot : "Kakek, aku mau jawaban yang ABCDEFG"
K : “Ooo ....,untuk kamu ABCDEFGHIJK. ”

Nenek happy, yg pacaran 4 bln. hanya A s/d G… dan dia A s/d K..
Nenek senyum-senyum : “Apa tuch ABCDEFGHIJK? ”

K : “Kamu itu: Amazing, Beautiful, Cute, Dynamic, Elegant, Fantastic, Good, Hightech…”
Nenek senang banget, dan bertanya lagi: “Yang IJK nya apa? ”
K : “I’m Just Kidding”

Thursday, December 1, 2016

Qou Vadis, Mau ke Mana, Nanaeng Tudia Ho BOD T...???




RENCANA pemerintah untuk mempercepat pembangunan pariwisata Danau Toba akhir-akhir ini patut diapresiasi. Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi didampingi beberapa menteri turun langsung dan melakukan rapat terbatas bersama bupati-bupati di sekitar Danau Toba bertajuk ‘Bersatu untuk Danau Toba’, 1 Maret 2016. Semua bupati (Karo, Dairi, Simalungun, Samosir, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, dan Tapanuli Utara) hadir, termasuk pelaksana tugas gubernur Sumatera Utara.

Langkah seperti ini, di mana presiden memimpin langsung rapat para bupati di Danau Toba, adalah kali pertama dalam sejarah republik ini. Selama ini, rapat-rapat serupa hanya dipimpin pejabat setingkat gubernur dan menteri. Itu pun sangat jarang terjadi. Tatkala presiden turun tangan membahas persoalan teknis-sektoral, ini sudah mengindikasikan adanya keinginan pemerintah untuk bertindak cepat dan segera.

Sebelumnya, 9 Januari 2016 telah berlangsung rapat koordinasi Pengembangan Pariwisata Danau Toba di Laguboti, Toba Samosir, yang dipimpin langsung Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli. Rapat ini juga dihadiri Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Pariwisata Arif Yahya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Salah satu gagasan baru yang ramai diberitakan pasca pertemuan-pertemuan ini adalah pembentukan Badan Otorita Kawasan Danau Toba, selain peningkatan infrastruktur. Lembaga baru ini akan diberi kewenangan khusus dalam pengelolaan kawasan Danau Toba, seperti kewenangan perizinan terpadu lahan sebesar 500 hektar di kawasan yang ditetapkan. Gagasan ini dinilai berbagai pihak sebagai terobosan untuk mengatasi kemacetan-kemacetan yang menjadi penyakit birokrasi selama ini.

Danau Toba telah ditetapkan sebagai salah satu dari 10 destinasi utama wisata atau Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), selain Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Bromo-Tengger-Semeru, Kepulauan Seribu, Wakatobi, Morotai, Tanjung Lesung, dan Tanjung Kelayang.
Masyarakat di sekitar Danau Toba menyambut sangat antusias rencana pemerintah ini. Selain karena figur Presiden Jokowi yang dinilai sangat meyakinkan—pemenang mutlak dalam pilpres di semua kabupaten di kawasan Danau Toba, ekspektasi yang sangat besar ini muncul di tengah tren menurunnya kepariwisataan Danau Toba dan apatisme publik yang telah berlangsung hampir 20 tahun belakangan ini.

Kondisi Danau Toba Saat Ini

Kondisi pariwisata Danau Toba pernah mengalami masa-masa emas pada 1980-1990-an bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada masa Orde Baru yang mencapai 6-7 persen per tahun. Pada 1980-an, Indonesia menikmati pendapatan besar dari bonanza minyak bumi. Pertumbuhan ekonomi negeri kita saat itu tergolong paling maju di kawasan, sehingga dijuluki “Asian Miracle” oleh Bank Dunia.
Sejak pertengahan 1980-an, pembangunan infrastruktur digalakkan: bendungan, bandara, pelabuhan, dan jalan-jalan antar provinsi dibangun dengan mulus. Sektor pariwisata dengan sendirinya terdongkrak, termasuk Danau Toba. Pada masa itu, Danau Toba menjadi destinasi wisata ketiga setelah Bali dan Borobudur.

Belakangan kita menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi Orde Baru itu ternyata semu karena didanai oleh utang luar negeri. Ketika krisis moneter 1997 menyerang kawasan Asia Tenggara, ekonomi kita pun ambruk. Sektor pariwisata pun terpukul sebab anggaran untuk membiayai infrastruktur merosot drastis, bahkan terbengkalai.

Otonomi daerah membuat kondisi kawasan Danau Toba semakin menurun dari tahun ke tahun. Kebijakan desentralisasi ini mendorong demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat, namun ia juga berdampak pada menguatnya egoisme antardaerah. Pembangunan yang tadinya bersifat sentralistik, kemudian bergantung pada visi dan skala prioritas yang ditetapkan kepala daerah.

Dalam konteks Danau Toba, fungsi koordinatif Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menurun bersamaan dengan menguatnya kewenangan para bupati. Danau Toba pun tercecer karena tujuh kabupaten di sekitarnya memiliki skala prioritas masing-masing dan mereka jarang sekali dapat mempertemukan gagasan bersama secara kongkrit untuk memajukan pariwisata Danau Toba. Bahkan, para bupati ini berlomba-lomba mengeruk sumber daya alam, melalui izin penebangan hutan yang semakin memperburuk ekosistem.

Jika Anda mengunjungi Danau Toba saat ini, Anda akan menjumpai hal-hal di luar dugaan, yang berbanding terbalik dengan masyhurnya danau terbesar di Asia Tenggara itu. Jalan utama dari Medan-Parapat via Siantar banyak berlubang dan mengalami longsor, membuat waktu tempuh 174 kilometer menjadi sekitar 4-5 jam. Belum termasuk kemacetan pada akhir pekan dan musim libur.
Begitu juga dari arah selatan, Sibolga atau Padang Sidempuan via Tarutung menuju Parapat kondisinya lebih buruk lagi. Jalan-jalan negara sepanjang 160-an kilometer sering menjadi kubangan-kubangan air pada musim hujan. Jarak tempuh menjadi dua kali lipat dan melelahkan.

Sementara itu, alternatif pesawat udara dari Bandara Kuala Namu ke Silangit masing sangat terbatas waktu dan intensitas. Pemerintah, juga dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi, memutuskan peningkatan kapasitas bandara dan sedang dikerjakan, sehingga dapat didarati pesawat berbadan lebar.
Transportasi darat akan tetap menjadi pilihan utama penduduk kawasan Danau Toba ke masa mendatang karena faktor persebaran penduduk dalam wilayah yang cukup luas. Karena itu, pembangunan jalan tol Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi—yang merupakan bagian dari kebijakan percepatan pembangunan (MP3EI) di masa pemerintahan SBY—diperkirakan dapat beroperasi pada 2017 diharapkan menjadi solusi masalah transportasi ini. Medan-Parapat diperkirakan dapat ditempuh hanya dalam waktu 3 jam.
Setibanya di Danau Toba, Anda akan disambut hamparan danau biru nan luas, iklim yang sejuk. Namun, pemandangan yang indah ini telah dirusak oleh keberadaan ratusan, bahkan ribuan petak keramba jala apung (KJA) milik perusahaan ikan asal Swiss dan masyarakat. KJA bukan hanya merusak pemandangan, tapi juga kualitas air karena residu dari ratusan ton pakan ikan yang ditabur ke KJA setiap hari. Di Urung Panei, Simalungun, terdapat peternakan babi skala besar, yang pembuangan limbahnya mengalir ke Danau Toba.
Masih banyak masalah yang akan segera terasa ketika memasuki wilayah Danau Toba. Mulai sarana penyeberangan ke Pulau Samosir yang terbatas; pembangunan hotel, villa, restoran dengan melakukan reklamasi pantai yang menyalahi aturan; wilayah pantai yang terbatas akses umum karena diokupasi hotel dan bisnis lain; hingga pembuangan sampah sembarangan.

Banyak pihak menyoroti perilaku penduduk setempat yang kurang sadar wisata. Hal ini sangat penting diperbaiki, tapi menurut saya merupakan masalah yang terlalu dibesar-besarkan. Tanpa bermaksud membenarkan, di setiap daerah wisata di mana pun di dunia ini, kita akan selalu menjumpai orang-orang yang kurang menyenangkan, penipu, atau pencuri.
Dalam konteks Danau Toba, masyarakat Batak yang terdiri dari lima sub-etnis (Toba, Simalungun, Mandailing, Karo, dan Pak-Pak) memiliki nilai-nilai dan kearifan tradisi yang sangat menghargai pendatang yang sampai saat ini masih terpelihara dan dapat direvitalisasi.

Warisan Orde Baru

Di samping hal-hal yang sudah diutarakan, problem paling besar Danau Toba saat ini adalah kerusakan ekosistem yang sudah terjadi sejak Orde Baru. Dulu, Danau Toba dikelilingi hutan alam yang rindang. Hutan alam ini menjadi sumber air sekitar 200 sungai kecil dan besar yang mengairi areal perawahan yang luas dan sumber air minum penduduk, dan pada akhirnya bermuara ke Danau Toba.

Wilayah hutan alam inilah yang dikenal sebagai daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba, yang luasnya mencapai 369.590 ha, meliputi 4 Dati II (sebelum pemekaran), yakni Tapanuli Utara seluas 225.579 ha, Simalungun 21.980 ha, Dairi 6.455 ha, Karo 5.580 ha. Dari luas DTA tersebut, hanya 65.719 ha yang sudah dimasukkan sebagai kawasan hutan register, berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan 140.625 ha, sedangkan selebihnya merupakan lahan masyarakat (tanah adat) (Sirait, 1999:334).

Perubahan ekosistem Danau Toba berlangsung secara drastis sejak berdirinya PT Inalum (Proyek Asahan II) yang terdiri dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pabrik peleburan aluminium (1975), diikuti dengan pendirian pabrik pulp dan paper PT Inti Indorayon Utama (1986). Kedua industri raksasa inilah, terutama yang terakhir, yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan Danau Toba, seperti penggundulan hutan dan menurunnya permukaan air Danau Toba.

PT Inalum mengeruk dasar Sungai Asahan (sebagai satu-satunya outlet Danau Toba), agar debit air mampu memutir delapan turbin PLTA Tangga dan PLTA Siguragura. Akibatnya, permukaan air danau sering berfluktuasi sesuai dengan kebutuhan kedua PLTA, yang seluruh arus listriknya dipakai untuk pabrik peleburan aluminium di Kuala Tanjung. Tercatat sudah tiga kali geger susutnya air Danau Toba, yakni tahun 1982, 1986, 2002, yang sangat meresahkan masyarakat. Dan yang tak boleh dilupakan, pembangunan kedua PLTA ini telah melenyapkan dua air terjun (sampuran) yang indah dan masyhur: Sampuran Siguragura dan Siharimau.

Kini, di hulu Sungai Asahan telah berdiri pula PLTA dengan kapasitas 2×90 MW (Proyek Asahan I) oleh perusahaan swasta nasional PT Bajradaya Sentranusa dan investor dari Negeri China. Sedangkan di hilir, direncanakan akan dibangun lagi PLTA dengan kapasitas 2×77 MW (Proyek Asahan III) oleh PLN, dengan dana pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Masalahnya, diperlukan debit air yang stabil (longterm stable flow) untuk memastikan ketiga proyek tersebut bisa beroperasi maksimal nanti, di mana jalan satu-satunya adalah dengan mengekploitasi (baca: menguras) air Danau Toba! Perusakan ekosistem Danau Toba semakin parah karena aktivitas PT Inti Indorayon Utama, yang kini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Pabrik pulp (yang awalnya juga memproduksi paper) ini melakukan penggundulan hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba, mulai dari Sibatuloting (Simalungun), Pulau Samosir, Dataran Tinggi Humbang dan Tapanuli Utara, dan kasus yang paling mutakhir adalah penggundulan hutan kemenyan di Pollung dan Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan, yang mendapat perlawanan keras dari petani kemenyan. Hutan menjadi gundul dan disulap menjadi hutan tanaman industri (HTI) yang berisi pohon eukaliptus yang rakus air.

Badan Otorita: Hindari Masalah Baru

Kembali ke rencana pemerintah membentuk badan otorita sebagai single management pengembangan pariwisata di seluruh kawasan Danau Toba. Kajian Delima Silalahi dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Parapat, Sumatera Utara, menunjukkan bahwa badan ini memiliki kewenangan yang sangat besar dalam merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah-tanah di kawasan Danau Toba untuk keperluan pariwisata sesuai dengan Pasal 21 Draft Peraturan Presiden tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Danau Toba. Ketentuan ini senafas dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang 
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Menurutnya, pasal ini sangat berpotensi menciptakan masalah baru karena ketentuan ini belum mengacu pada prinsip-prinsip keadilan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia, yang dikenal dengan prinsip free prior and informed consent. Secara sederhana, prinsip ini mensyaratkan penghargaan terhadap hak masyarakat untuk menyatakan setuju atau tidak pada sebuah proyek pembangunan di wilayah mereka, setelah terlebih dahulu memperoleh informasi yang jelas dan cukup. Kekuatiran ini bukan tanpa alasan, karena sebagian besar tanah di kawasan Danau Toba adalah tanah adat yang secara administrasi belum memiliki sertifikat.

Inilah masalah-masalah yang menjadi tantangan serius dalam pengembangan pariwisata Danau Toba, yang perlu diselesaikan satu per satu ke masa mendatang. Pemerintah dan pihak-pihak terkait diharapkan tidak hanya terpaku pada aspek-aspek infrastruktur, manajemen, dan budaya di level permukaan; melainkan melalui pendekatan yang komprehensif dan holistik.

Sehingga, pertanyaan sebagaimana disampaikan pada judul tulisan ini sangat relevan diajukan: Danau Toba, apa yang mau dibangun?

https://www.facebook.com/notes/r-yacob-christian-sihombing/qou-vadis-mau-ke-mana-nanaeng-tudia-ho-bod-t/1125143544204356
Yogyakarta, 16 Maret 2016