Manusia kekinian rela melakukan hal-hal tak masuk akal sebagai perjuangan realisasi “imajinasi mitos”. Bahwa saya harus selalu kelihatan fresh, unyu, unik, branded, trendsetter, smart, tanpa jerawat, seksi, semlohai, bahkan tak pernah kentut demi maksimalisasi ganjen, menjadi citra personal yang kita rayakan.
Apa pun imajinasi yang kita rengkuh untuk diri kita, demikianlah kita, dalam ungkapan Jean-Paul Sartre, “menciptakan proyeksi dari suatu ketiadaan menjadi (seolah) benar-benar ada”. Imajinasi, kita tahu, adalah sebuah simulasi, maket, proyeksi masa depan.
Kita membayangkan bahwa ketika kita bepergian ke sebuah mall, dengan bercelana slim-fit, bersepatu converse, rambut mohawk, sebagai personal branding, kita sontak tertampilkan di mata sepapasan orang-orang sebagai “si keren”. Itulah proyeksi imajinasi yang kita ciptakan dari ketiadaan. Perihal karakter “si keren” itu benar-benar kita raih atau justru memualkan, kita tak punya hak sama sekali untuk memaksanya. Itu mutlak milik semua orang di luar diri kita. Kita sepenuhnya subjek yang diobjekkan oleh subjek kita sendiri, sehingga orang-orang lain menjadi subjek penentu maujud objek kita. Sedih sekali, bukan?
Betapa kerap kita menggumam di telinga sendiri tentang noraknya gadis di depan mata dengan hot pants, tank top, heels, rambut pirang, dan i-Phone yang tak pernah tanggal dari tangan, lantaran kulitnya penuh bekas borok dan perutnya diselubungi lemak-lemak. Bukankah acap sekali kita menelan ludah kecewa pada sesosok BMW (Bodi Mengalahkan Wajah) yang dari belakang tampaknya Syahrini tetapi dari depan begitulah?
Bahwa isi batin, jagat iman, terekspresikan dalam simbol-simbol lahiriah, itu benar, tetapi tetap saja dimensi batin sebagai “jembatan diri dan Tuhan”—yang berbeda telak dengan dimensi lahiriah sebagai “jembatan manusia dan manusia”—merupakan ontologinya, hakikatnya. Bukankah sia-sia belaka saya berdoa berkotbah, mengutip ayat dari kitab-kitab suci, tetapi batin menghasratinya sebagai pamer? Bukankah sia-sia pula berbusana sedetail pandangan hijab syar’i tetapi di detik yang sama batin menista hina orang lain yang tidak serigid penampilan Anda?
Sumir sekali memang sistem-sistem tanda ini jika dikaitkan dengan jagat batin. Ia pun tak mampu menyangkal gemetar betapa ia sekadar sebuah mistifikasi, mitologisasi—penabalan sistem tanda lahiriah yang artifisial pada batiniah yang suprarasional.
https://www.facebook.com/notes/r-yacob-christian-sihombing/mitos-sistem-tanda-personal-branding/1109631465755564
No comments:
Post a Comment