Thursday, December 1, 2016

Mencinta ? Bercinta ?

Berawal dari sebuah kisah dalam cerita pewayangan.

Konon, jaman dulu di pulau Srilangka ada beberapa negara kecil. Seringkali negara-negara kecil tersebut saling berperang memperebutkan wilayah. Diantara negara-negara tersebut ada negara kecil Alengko dengan Rajanya Prabu Somali. Putri sulungnya bernama Dewi Sukesi telah menginjak remaja dan sudah saatnya menikah. Raja Danarjo dari kerajaan Lokapala yang juga di pulau Srilangka tertarik dengan Dewi Sukesi. Kehendak Sang Prabu dilambari motif politis. Ia ingin Alengko dimerger dengan Lokapala.

Dewi Sukesi yang hanya sedikit lebih ayu dari Omas atau Yati Pèsèk, punya syarat, ia mau dinikahi asalkan diajari ilmu Sastro Jendro Yuningrat Pangruwating Diyu. Sebuah ilmu yang wingit & pelik. Untungnya Prabu Danarjo anak begawan Dr. Wisrowo yang profesor emeritus kesusastraan dan rektor dari Universitas Girijembangan. Segera dipersilahkannya Woro Sukesi untuk mengikuti kuliah Bopo wiku. Karena anak Raja, Sukesi mendapat keistimewaan kuliah khusus sendiri.

Sebenarnya nilai Sukesi pas-pasan, kebanyakan C, beberapa C+, dan ada yang C-. Selain kuliah Sastro Jendro yang jadi kuliah pokok, Woro Sukesi juga diizinkan kuliah minor. Boleh Fisika Quantum, Kimia, Geografi, Elektronika, Hukum, dll. Karena kuliah sudah masuk semester III, Sukesi diizinkan masuk ke perpustakaan pribadi Sang Resi. Semua naskah diperbolehkan dipelajari kecuali sebuah kitab yang diberi warna biru. Buku sakral ini bukan untuk perjaka & perawan. Sebagai mahasiswi yang patuh, Sukesi tidak pernah berupaya mempelajari buku tersebut.

Pada suatu malam yang kelam Sang Resi berkenan memberikan kuliah minor. Dititahkannya Sukesi mencari textbook di perpustakaan pribadinya, apa saja yang ingin dipelajarinya. Waktu itu hujan rintik-rintik dan banyak angin. Suasananya kekes, mendung dan mulai gerimis. Dengan takut-takut, Woro Sukesi ke perpustakaan yang terletak jauh dari ruang kuliah pribadi. Ketika sampai di perpustakaan, Hyang Bayu – dewa angin – berkelebat dan… byarpet… listrik mati, PLN mematikan jaringan. Di luar angin mendesis, gerimis makin deras. Tergesa-gesa Sukesi yang dasarnya penakut sekenanya mengambil sebuah buku. Kemudian ia berlari-lari kecil kembali ke ruang kuliah pribadi. Takut kudanan.

Wiku Wisrowo dengan telaten dan penuh kesabaran mengajari Sukesi yang IQ-nya pas-pasan. Diluar hujan dan hawa terasa adem. Di dalam ruang belajar dian berkebat kebit kena angin. Terpaksa mereka duduk berdempetan agar bisa membaca kitab itu dengan lebih baik. Entah apa yang terjadi, kedua insan yang umurnya terpaut jauh tiba-tiba menjadi berdebardebar. Nafas menjadi sesak. Buku apa ini, wingit betul ? Embuh, kedua insan itu seolah tidak siuman meneruskan pelajaran dengan lebih nggethu.

Malam makin larut dan kedua insan itu makin asyik. Mereka merasakan sebagian badannya kruget-kruget abuh (bengkak) padahal tidak ada tawon kemliwat. Ketika sampai tahap ‘praktikum’, nafas makin ter-sengal-sengal ! Wé ladhalah …..
Dan . . .
Saru
Begitulah kedua insan itu terhanyut meneruskan ‘praktikum’ sampai posisi-posisi akrobatik. Sampai-sampai Bopo Resi jatuh krengkangan. Lha, wis kèwut jé. ‘Praktikum’ dilakukan ber-ulang-ulang semalaman sampai keduanya kotos-kotos mandi keringat.

Keesokan paginya, guru-murid itu teler kelelahan saling berpelukan dalam keadaan nglegeno. Betapa kagetnya dua insan itu. Apa yang telah terjadi semalaman ? Blaik, …. ternyata buku yang tadinya ingin dipelajari adalah MENCINTAI, ternya adalah BERCINTA ! Karena mempelajari Sastro Jendro Yuningrat Pangruwating Diyu, kedua insan itu menemui bilahi jadi birahi. Wah, wis kebacut ! Bablaské sisan, pénak jé ! Gara-gara salah mengambil buku, kuliah Sukesi tersendat karena buntang bunting terus, sampai anaknya enam. Bukannya mendapatkan ijasah, malah anaknya pating jredhul.

Bukan alang kepalang marahnya Prabu Donopati ketika mengetahui bahwa calon bininya bunting karena dikeloni bapaknya sendiri. Dengan berang Sang Prabu melabrak ayahnya yang trondholo di Universitas Girijembangan. Jedher ! Pintu kantor rektor ditendangnya dengan sekuat tenaga.

“ Bopo wiku, sampéyan ini bagaimana, sih ? Katanya kuliah sastra kok malah muridnya dikeloni ? “

“ Sareh, ngger, silahkan duduk …. “

“ Sudah, nggak usah basa basi, … biar saya berdiri saja, … kok malah nyinau yang saru-saru itu pripun, Bopo Resi ? “

“ Lha, aku sendiri samasekali tidak nggraito apa-apa. … aku kira sedang belajar anatomi bagian sarap-sarap sensitip … jebul malah kena bilahi … eh kleru … kena birahi “

“ mesthinya sampéyan ini mbok nyebut to, wong sudah kèwut. Harusnya berdoa di sanggar pamujan di senjakala usia, menunggu kedatangan Sang Hyang Yomodipati. Kok malah … “

“ Umur itu dumunung dalam pikiran, ngger. Kalau kita berpikir masih muda maka kita akan serasa masih muda. Kalau kita masih merasa going strong, tidak ada yang bisa ngaru biru. Kulawik, anak Prabu, yang harus sering ke sanggar pamujan bukan yang kèwut- kèwut tetapi justru yang masih muda2 … “

“ Bopo wiku, saya ini sedang marah. Saya kesini bukan untuk kuliah … cewek yang masih belasan tahun kok sampéyan keloni itu rak tidak etis to, kanjeng Resi ? Maksud saya, biar saya peram, kok malah sampéan brakoti dhéwé. “

“ aku terima salah anak Prabu. Tetapi ketauilah bahwa yang namanya cinta itu buta. Tidak memandang usia. Bisa saja aku yang sudah kèwut jatuh cinta dengan ABG .. “

“ sudah, sudah, sudah, … saya tidak butuh wejangan, terus anak-anak haram itu piyé … ? “

“ hus ! Tidak ada yang namanya anak haram. Yang ada ortu haram jadah seperti ané. “

“ Mesthinya anak polah Bopo kepradah atau anak bertingkah bapak lintang pukang. Ini kok kulawik. Bopo polah anak kepradah – babe macem-macem, anak jadi heboh “

“ Ho’ oh, ya …. “

“ wis, wis, wis, …. tak tigas janggamu ! “

Dengan sepenuh tenaga ditikamkannya senjatanya ke Resi Wisrowo namun sampai berulangkali tetap tidak bisa melukai. Lama kelamaan Sang Prabu Donopati kelelahan sendiri. Donopati merasa sangat malu dengan perilaku ayahnya yang malah ngeloni calon menantunya. Tetapi ia tidak berdaya, wiku Wisrowo terlalu sakti, ia tidak bisa bahkan hanya untuk melukai ayahnya. Akhirnya Donopati putus asa dan ia minta ayahnya membunuhnya karena ia tidak tahan dirundung malu punya ayah seperti itu. Tentu saja Sang Begawan menolak membunuh putranya. Saking marahnya, Prabu Donopati mem-bentur-benturkan kepalanya ketembok sampai berdarah-darah.

Begawan Wisrowo serba salah. Disatu sisi ia sangat mencintai bini mudanya dan ingin mengecap madunya hidup dengan kembang yang sedang mekar itu. Disisi lain ia adalah pendhito yang seharusnya malu bersikap seperti itu. Ia juga sedih melihat betapa anaknya yang dikasihinya hancur mentalnya. Akhirnya, pupus sudah hati Sang wiku. Ia iklas melepaskan kehidupan sorgawinya dengan bini mudanya. Ia iklas menebus kesalahannya kesalahannya dengan ajalnya. Dengan tenang dicopotnya rompi kebalnya, yang dibelinya di Toko Ramai Ngalioboro. Ia sekarang tidak lagi digdoyo. Kemudian Sang wiku membentak putranya

“ Bocah gembèng ! Begitu saja nangis kayak anak kecil. Itu bukan sikap Raja. Memalukan sekali ! Akupun malu punya anak seperti itu ! Anak gembus ! Ayo, gunakan senjatamu … bunuhlah aku … kalau bisa ! “

Ditantang seperti itu, kemarahan Donopati meledak lagi. Dengan sekuat tenaga ditusukkannya kerisnya ke dada ayahnya. Blesss, keris menancap telak didada sepuh wiku Wisrowo. Pabu Donopati terpekur memandang jenasah ayahnya. Ia tidak menduga kejadiannya akan seperti itu. Semula ia hanya berniat meledakkan kemarahan dan sama sekali tidak ada keinginan membunuh ayahnya. Tetapi semua berlangsung begitu cepat dan diluar dugaannya. Yang tersisa adalah getun …..

Disadur dari: Bilahi Birahi di Girijembangan
Karya: S.Brotosumarto

https://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2016/02/14/mencinta-bercinta/
 Posted on

No comments:

Post a Comment