Berawal dari sebuah kisah dalam cerita pewayangan.
Konon, jaman dulu di pulau Srilangka ada beberapa negara kecil.
Seringkali negara-negara kecil tersebut saling berperang memperebutkan
wilayah. Diantara negara-negara tersebut ada negara kecil Alengko dengan
Rajanya Prabu Somali. Putri sulungnya bernama Dewi Sukesi telah
menginjak remaja dan sudah saatnya menikah. Raja Danarjo dari kerajaan
Lokapala yang juga di pulau Srilangka tertarik dengan Dewi Sukesi.
Kehendak Sang Prabu dilambari motif politis. Ia ingin Alengko dimerger
dengan Lokapala.
Dewi Sukesi yang hanya sedikit lebih ayu dari Omas atau Yati Pèsèk,
punya syarat, ia mau dinikahi asalkan diajari ilmu Sastro Jendro
Yuningrat Pangruwating Diyu. Sebuah ilmu yang wingit & pelik.
Untungnya Prabu Danarjo anak begawan Dr. Wisrowo yang profesor emeritus
kesusastraan dan rektor dari Universitas Girijembangan. Segera
dipersilahkannya Woro Sukesi untuk mengikuti kuliah Bopo wiku. Karena
anak Raja, Sukesi mendapat keistimewaan kuliah khusus sendiri.
Sebenarnya nilai Sukesi pas-pasan, kebanyakan C, beberapa C+, dan ada
yang C-. Selain kuliah Sastro Jendro yang jadi kuliah pokok, Woro
Sukesi juga diizinkan kuliah minor. Boleh Fisika Quantum, Kimia,
Geografi, Elektronika, Hukum, dll. Karena kuliah sudah masuk semester
III, Sukesi diizinkan masuk ke perpustakaan pribadi Sang Resi. Semua
naskah diperbolehkan dipelajari kecuali sebuah kitab yang diberi warna
biru. Buku sakral ini bukan untuk perjaka & perawan. Sebagai
mahasiswi yang patuh, Sukesi tidak pernah berupaya mempelajari buku
tersebut.
Pada suatu malam yang kelam Sang Resi berkenan memberikan kuliah
minor. Dititahkannya Sukesi mencari textbook di perpustakaan pribadinya,
apa saja yang ingin dipelajarinya. Waktu itu hujan rintik-rintik dan
banyak angin. Suasananya kekes, mendung dan mulai gerimis. Dengan
takut-takut, Woro Sukesi ke perpustakaan yang terletak jauh dari ruang
kuliah pribadi. Ketika sampai di perpustakaan, Hyang Bayu – dewa angin –
berkelebat dan… byarpet… listrik mati, PLN mematikan jaringan. Di luar
angin mendesis, gerimis makin deras. Tergesa-gesa Sukesi yang dasarnya
penakut sekenanya mengambil sebuah buku. Kemudian ia berlari-lari kecil
kembali ke ruang kuliah pribadi. Takut kudanan.
Wiku Wisrowo dengan telaten dan penuh kesabaran mengajari Sukesi yang
IQ-nya pas-pasan. Diluar hujan dan hawa terasa adem. Di dalam ruang
belajar dian berkebat kebit kena angin. Terpaksa mereka duduk
berdempetan agar bisa membaca kitab itu dengan lebih baik. Entah apa
yang terjadi, kedua insan yang umurnya terpaut jauh tiba-tiba menjadi
berdebardebar. Nafas menjadi sesak. Buku apa ini, wingit betul ? Embuh,
kedua insan itu seolah tidak siuman meneruskan pelajaran dengan lebih
nggethu.
Malam makin larut dan kedua insan itu makin asyik. Mereka merasakan
sebagian badannya kruget-kruget abuh (bengkak) padahal tidak ada tawon
kemliwat. Ketika sampai tahap ‘praktikum’, nafas makin ter-sengal-sengal
! Wé ladhalah …..
Dan . . .
Begitulah kedua insan itu terhanyut meneruskan ‘praktikum’ sampai
posisi-posisi akrobatik. Sampai-sampai Bopo Resi jatuh krengkangan. Lha,
wis kèwut jé. ‘Praktikum’ dilakukan ber-ulang-ulang semalaman sampai
keduanya kotos-kotos mandi keringat.
Keesokan paginya, guru-murid itu teler kelelahan saling berpelukan
dalam keadaan nglegeno. Betapa kagetnya dua insan itu. Apa yang telah
terjadi semalaman ? Blaik, …. ternyata buku yang tadinya ingin
dipelajari adalah MENCINTAI, ternya adalah BERCINTA ! Karena mempelajari
Sastro Jendro Yuningrat Pangruwating Diyu, kedua insan itu menemui
bilahi jadi birahi. Wah, wis kebacut ! Bablaské sisan, pénak jé !
Gara-gara salah mengambil buku, kuliah Sukesi tersendat karena buntang
bunting terus, sampai anaknya enam. Bukannya mendapatkan ijasah, malah
anaknya pating jredhul.
Bukan alang kepalang marahnya Prabu Donopati ketika mengetahui bahwa
calon bininya bunting karena dikeloni bapaknya sendiri. Dengan berang
Sang Prabu melabrak ayahnya yang trondholo di Universitas Girijembangan.
Jedher ! Pintu kantor rektor ditendangnya dengan sekuat tenaga.
“ Bopo wiku, sampéyan ini bagaimana, sih ? Katanya kuliah sastra kok malah muridnya dikeloni ? “
“ Sareh, ngger, silahkan duduk …. “
“ Sudah, nggak usah basa basi, … biar saya berdiri saja, … kok malah nyinau yang saru-saru itu pripun, Bopo Resi ? “
“ Lha, aku sendiri samasekali tidak nggraito apa-apa. … aku kira
sedang belajar anatomi bagian sarap-sarap sensitip … jebul malah kena
bilahi … eh kleru … kena birahi “
“ mesthinya sampéyan ini mbok nyebut to, wong sudah kèwut. Harusnya
berdoa di sanggar pamujan di senjakala usia, menunggu kedatangan Sang
Hyang Yomodipati. Kok malah … “
“ Umur itu dumunung dalam pikiran, ngger. Kalau kita berpikir masih
muda maka kita akan serasa masih muda. Kalau kita masih merasa going
strong, tidak ada yang bisa ngaru biru. Kulawik, anak Prabu, yang harus
sering ke sanggar pamujan bukan yang kèwut- kèwut tetapi justru yang
masih muda2 … “
“ Bopo wiku, saya ini sedang marah. Saya kesini bukan untuk kuliah …
cewek yang masih belasan tahun kok sampéyan keloni itu rak tidak etis
to, kanjeng Resi ? Maksud saya, biar saya peram, kok malah sampéan
brakoti dhéwé. “
“ aku terima salah anak Prabu. Tetapi ketauilah bahwa yang namanya
cinta itu buta. Tidak memandang usia. Bisa saja aku yang sudah kèwut
jatuh cinta dengan ABG .. “
“ sudah, sudah, sudah, … saya tidak butuh wejangan, terus anak-anak haram itu piyé … ? “
“ hus ! Tidak ada yang namanya anak haram. Yang ada ortu haram jadah seperti ané. “
“ Mesthinya anak polah Bopo kepradah atau anak bertingkah bapak
lintang pukang. Ini kok kulawik. Bopo polah anak kepradah – babe
macem-macem, anak jadi heboh “
“ Ho’ oh, ya …. “
“ wis, wis, wis, …. tak tigas janggamu ! “
Dengan sepenuh tenaga ditikamkannya senjatanya ke Resi Wisrowo namun
sampai berulangkali tetap tidak bisa melukai. Lama kelamaan Sang Prabu
Donopati kelelahan sendiri. Donopati merasa sangat malu dengan perilaku
ayahnya yang malah ngeloni calon menantunya. Tetapi ia tidak berdaya,
wiku Wisrowo terlalu sakti, ia tidak bisa bahkan hanya untuk melukai
ayahnya. Akhirnya Donopati putus asa dan ia minta ayahnya membunuhnya
karena ia tidak tahan dirundung malu punya ayah seperti itu. Tentu saja
Sang Begawan menolak membunuh putranya. Saking marahnya, Prabu Donopati
mem-bentur-benturkan kepalanya ketembok sampai berdarah-darah.
Begawan Wisrowo serba salah. Disatu sisi ia sangat mencintai bini
mudanya dan ingin mengecap madunya hidup dengan kembang yang sedang
mekar itu. Disisi lain ia adalah pendhito yang seharusnya malu bersikap
seperti itu. Ia juga sedih melihat betapa anaknya yang dikasihinya
hancur mentalnya. Akhirnya, pupus sudah hati Sang wiku. Ia iklas
melepaskan kehidupan sorgawinya dengan bini mudanya. Ia iklas menebus
kesalahannya kesalahannya dengan ajalnya. Dengan tenang dicopotnya rompi
kebalnya, yang dibelinya di Toko Ramai Ngalioboro. Ia sekarang tidak
lagi digdoyo. Kemudian Sang wiku membentak putranya
“ Bocah gembèng ! Begitu saja nangis kayak anak kecil. Itu bukan
sikap Raja. Memalukan sekali ! Akupun malu punya anak seperti itu ! Anak
gembus ! Ayo, gunakan senjatamu … bunuhlah aku … kalau bisa ! “
Ditantang seperti itu, kemarahan Donopati meledak lagi. Dengan sekuat
tenaga ditusukkannya kerisnya ke dada ayahnya. Blesss, keris menancap
telak didada sepuh wiku Wisrowo. Pabu Donopati terpekur memandang
jenasah ayahnya. Ia tidak menduga kejadiannya akan seperti itu. Semula
ia hanya berniat meledakkan kemarahan dan sama sekali tidak ada
keinginan membunuh ayahnya. Tetapi semua berlangsung begitu cepat dan
diluar dugaannya. Yang tersisa adalah getun …..
Disadur dari: Bilahi Birahi di Girijembangan
Karya: S.Brotosumarto
https://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2016/02/14/mencinta-bercinta/
Posted on
No comments:
Post a Comment