Sunday, January 8, 2017

Mungkin terlalu jauh jika judulnya, Uruslah Sertifikat Kentut Anda, Jika Anda Tidak Mau Dipidanakan....


Mengikuti perkembangan belakangan ini, membuat kita harus merenungkan kembali makna berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila yang menekankan pada semboyan yang dicengkram kuat oleh kaki burung garuda, BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Apakah toleransi atas ke-bhinneka-an itu adalah sesuatu yang semu dan fiktif belaka? Terpaksa dan tidak tulus dari hati? Hanya agar “sekonyong-konyong” di mata dunia, kitalah bangsa yang paling berjasa ber-“telolet”? Mungkin hanya kita dan Tuhan yang tahu, apa yang ada dalam pikiran kita. Atau perlu kita pertanyakan pada rumput yang bergoyang?
Tak dapat kita tampik bahwa memang pada saat-saat menjelang terjadinya proses demokratisasi baik melalui pilpres, pilleg, ataupun pilkada, banyak terjadi hal-hal yang kita sendiri tidak mengetahui apa yang harus kita perbuat, mereka yang telah melakukannya-pun “tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Inikah pesta demokrasi itu? Ataukah ini sebagai sebuah pertanda “musibah reformasi”? Dan bagaimana masa depan bangsa dan negara ini? Akankah kita simpan dengan rapi dan lebih dalam di rak, kaset-kaset Gombloh yang bernuansa nasionalisme, seperti Kebyar Kebyar? Mungkinkah sebagian di antara kita ini sudah setengah gila? Jika memang demikian, saya hanya berpesan, jangan gila-lah...
Terkadang geli bercampur geram kita melihat keadaan. Kemanakah sirna nurani embun pagi, yang biasanya ramah dari bangsa ini? Kita memang sudah ditakdirkan menjadi manusia-manusia yang sabar dan tidak gampang “terbakar”. Kita syukurilah itu, sebab jika tidak, maka kita-pun akan hangus di dalamnya. Bukan hanya dengan mereka yang memiliki perbedaan secara prinsip relatif jauh hal-hal begini terjadi, tetapi dengan kita yang sealiran-pun kerap hal seperti ini juga terjadi. Jika kita meniliknya semua dari sudut perbedaan, tentu antar saudara kembar-pun akan ada perbedaan. Sehingga akan ada celah untuk mengatakan bahwa si A1 dan A2 memang berbeda.
Dalam cerita humor pewayangan, memang segala sesuatu itu ada pakemnya. Kisah berikut ini hanya sekedar illustrasi belaka. Tetapi agar kita sedikit banyak merenungkan artinya perbedaan yang ada di antara kita, termasuk perbedaan pilihan politik.

Karang Kedampel kembali heboh. Setelah hilangnya Semar dalam jagat Arus Bawah-nya Cak Nun, si tua bertubuh tambun itu pun muncul kembali. Kini, kehadirannya untuk menentukan keputusan yang nggak amat-amat penting, tetapi sangat diperlukan untuk meluruskan sejarah dan menjaga adat budaya.

“Sudah semestinya Petruk diberi pelajaran, Romo,” ujar Gareng, sambil melinting tembakau srintil-nya.
“Hmm…, apa sebetulnya kamu ingin mengatakan kalau Romomu ini tidak mendidik adikmu, Reng?” tanya Semar yang leyeh-leyeh di dipan bambu.
“Bukan begitu, Mo. Tetapi alangkah baiknya jika si hidung panjang itu dikasih pelajaran lagi. Ya, agar tindak-tanduknya tidak merusak kebangsawanan keluarga.”

Semar yang mendengar hanya mesem kecut. Ia paham maksud anaknya, tetapi salah apa si Petruk. Bukankah memang begitu kelakuannya: menerjang aturan yang berlaku?
“Tingkah laku Petruk sudah menjadi perbincangan hangat di jagat maya, Mo. Kemarin, saat merti desa tiba-tiba ia kentut yang tidak selazimnya,” ungkap Gareng.
Lha dalah…, apa kentut bukan hal yang lazim, Reng? Bukankah kentut memang begitu adanya: keluar dan menyesap ke semua hidung?”
“Tetapi kentut Petruk sudah merusak tatanan, merobohkan paugeran desa, Mo. Boleh saja kentut, tetapi mbok ya sesuai dengan aturan yang berlaku.”
“Hahaha…. Kamu mengada-ada, Reng. Kentut kok merusak paugeran. Sejak kapan kentut masuk paugeran?”
“Sejak orang menyepakati perihal bunyi kentut, Mo.”
“Siapa yang menyepakatinya?”
“Orang-orang yang ahli kentut dan membunyikannya dengan baik. Lalu,  ilmu berkentut itu diturunkan kepada orang-orang di sekitarnya.”
“Apa mereka yang menerima ilmu berkentut itu mengikuti?”
“Iya, Mo. Bahkan, saking banyaknya peminat, para suhu itu akhirnya membuka kursus berkentut. Semakin hari semakin banyak peminatnya. Mereka sampai kerepotan mengasuhnya. Kemudian, mereka mempunyai ide untuk membuat jadwal kursus kentut yang sahih.”
Semar hanya bisa dlongo mendengar ujaran anaknya.
“Romo nggak usah heran. Itulah kenyataannya di Kareng Kedampel ini. Seharusnya Romo sebagai lurah lebih mahfum perihal kentut.”
“Yang aku heran, kok ya ada orang tertarik dengan cara berkentut, Reng.”
Lha, Romo ini bagaimana, bukankah kentut menunjukkan kepribadian seseorang? Semakin pintar berkentut berarti orang yang bersangkutan juga lihai dalam kehidupannya, Mo. Apa Romo tidak pernah kentut sehingga tidak tahu cara berkentut?”
Ngawur kamu. Aku kentut saat orang-orang sedang tidur, sedang berkelana di alam mimpinya. Bahkan, kentutku di alam mimpi, Reng.”
“Romo hebat.”

Semar menggeliat, perutnya sedikit mules. Ada sesuatu yang ingin menyeruak dari lubang anginnya, tetapi cepat-cepat ia menahannya. Sebab, ia sudah terlanjur berucap kalau kentutnya hanya pada saat mimpi. “Lantas, apa yang dihebohkan dari kentutnya Petruk, Reng?” tanyanya kemudian.
“Kentut Petruk tidak selumrahnya kentutnya orang-orang Karang Kedampel, Mo. Boleh dibilang, kentutnya Petruk membuat runyam Jonggring Saloko. Nah, yang dikhawatirkan para penduduk Karang Kedampel adalah murkanya Sang Hyang.”
“Wah, segitu gawatkah, Reng?”
“Bisa jadi, Mo.” Gareng berhenti sejenak. Hidungnya yang mulai mbeler ia usap dengan kaus partai yang ia dapatkan dari kampanye kemarin. Ia bertutur lagi, “Romo pasti tahu, kalau tata cara membunyikan kentut di Karang Kedampel hanya ada tujuh jenis: cas, ces, cis, cos, cus, tut, dan tot. Kemarin, bunyi kentutnya Petruk tidak memenuhi kelima jenis cara berkentut tersebut.”
“Terus, bunyi kentutnya Petruk bagaimana Reng?”
“Pokoknya lucu, Mo. Konon, kentutnya Petruk membuat telinga orang merasa geli. Ada yang beda.”
“Hahaha…, jangan-jangan mereka yang protes itu memang tidak akrab dengan bunyi kentutnya Petruk?”
“Jelaslah, Mo. Kalau akrab tentu mereka tidak akan protes dan menganggap kentutnya Petruk itu bid’ah mughaladhah!”
“Hahaha…, pasti orang-orang protes itu ketularan penyakit dari Negeri Kolo-Kolo, Reng.”
“Aku tidak tahu, Mo. Yang pasti, tugas Romo sekarang adalah membenarkan cara berkentutnya Petruk. Jangan sampai Sang Hyang murka hanya gara-gara kentut yang merusak paugeran.”
“Sebentar, Reng. Sebelum kita menegur Petruk, alangkah baiknya kalau kita mencoba menelisik bunyi kentut yang sudah menjadi pakem di Karang Kedampel ini.”

Keduanya diam sejenak, tetapi tangan mereka saling berebut ubi rebus yang tinggal secuil. Ah, akhirnya Gareng yang berhasil mengambil sisa camilan tersebut.
“Apakah kamu tahu, Reng, kalau sejatinya Sang Hyang memakemkan bunyi kentut?”
“Tidak, Mo. Yang aku tahu sekadar ‘berkentutlah yang sopan’. Itu saja.”
“Kalau begitu, berarti Dia membolehkan hamba-Nya kentut dengan suara-suara tertentu, misalnya kentut ala Petruk?”
“Aku juga tidak tahu, Mo. Mungkin saja boleh.”
“Kalau kamu tidak tahu, kenapa ikut-ikutan menghujat kentutnya Petruk?”
“Karena orang-orang mengatakan kentutnya Petruk tidak sesuai pakem, Mo.”
“Pakem yang tujuh itu?”
“Iya, masak ada lagi?”
“Lantas, kamu tahu asal-usul, sejarah, munculnya tata cara membunyikan kentut yang tujuh itu?”
“Tidak, Mo. Yang aku tahu, konon, bunyi kentut yang sudah menjadi pakem itu diajarkan oleh para guru yang datang dari negeri seberang.”
“Bagaimana kalau ternyata pakem perkentutan yang telah diajarkan oleh para guru itu tidak lain sebuah kebiasaan melagukan kentut dari negeri asalnya? Gampangnya, kentut itu hanyalah bunyi-bunyian hasil budaya dari negeri tersebut?”
“Bisa jadi, Mo. Namun, itu sudah menjadi lagu yang diamini banyak orang, Mo. Siapa yang ingin berkentut, selagi masih di Karang Kedampel, harus manut dengan paugeran tersebut.”
“Nah, inilah celakanya kita. Tidak pernah menelisik asal-usul tersebut. Kita hanya manut dan menganggap bunyi kentut yang tujuh itu seolah-olah dari langit. Padahal, Sang Hyang menciptakan kentut yang sama. Yang membedakan adalah dari silit siapa gas beracun itu keluar. Soal bunyi, itu sangat tergantung bentuk dan tebal tipisnya lubang angin tersebut. Tak ada perintah melagukan kentut, yang ada adalah berkentutlah dengan baik.”
“Kalau begitu, apa kelak akan ada kentut yang dibunyikan dengan jazz, Mo?”
“Boleh jadi. Tetapi, aku kira sangat-sangat tidak mungkin.”
“Kenapa, Mo?”
“Ya, selagi masih ada paugeran seperti yang kamu katakan itu.”

Hingga sekarang kentut Petruk menjadi berita hangat di media-media online Karang Kedampel. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Padahal, masyarakat kahyangan adem ayem menghadapi kentutnya Petruk. Biasalah dunia online, maya, siapalah yang tahu batang hidungnya.

Dan kehidupan Karang Kedampel yang suka membesar-besarkan masalah akan terus begitu sampai elek, sampai tuek. Pokoknya njeplak, eksis, njeplak, eksis. Dan itu sudah gawan bayi. Makanya berisik!

Friday, December 9, 2016

JANGAN TERTIPU DEVIDE ET IMPERA

Saudaraku se_indonesia. Harap ingat sejarah, bagaimana seluruh nusantara ini bisa dikuasai di zaman baheula oleh sebuah perusahaan yang namanya VOC (setara PT pada masa kini), hanya bermodalkan sejumlah kecil pasukan. Kerajaan-kerajaan besar dan kecil di nusantara ini tumbang satu demi satu dan takluk menghadapi begundal PT dagang ini. Mengapa bisa?

Padahal sejarawan mencatat bahwa pasukan VOC adalah para : sampah masyarakat, bajingan, dan petualang. Tidak ada prajurit terhormat di Eropa yang mau jadi pasukan VOC ketika direkrut pada masa itu. Tetapi, mengapa mereka pada akhirnya bisa mengalahkan orang-orang hebat di nusantara kita? Jawabnya cuma satu: kita membiarkan diri dikangkangi taktik kuno penjajahan: DEVIDE ET IMPERA! Menurut cacatan sejarawan pasukan Belanda totok cuma 10%, Eropa lainnya 10%, 80 % lainnya adalah penduduk nusantara. Artinya, orang yang saling membunuh dalam peperangan itu, baik dipihak Kompeni maupun di pihak kerajaan-kerajaan nusantara, adalah pribumi itu sendiri. Para kapten Belanda, yang cuma pegang pistol itu, kebanyakan hanya memberi aba-aba....

Mari buka mata, taktik klasik itu sekarang kembali dipakai, kita sudah ada dalam daftar sebagai negeri yang harus digoyang supaya kita tidak bisa menikmati kemamkmuran kita sendiri. Seperti negara-negara sekuler-nasionalis lain di Tengah, kita adalah target apa yang dulu disebut Bung Karno Neo-kolim.
Sadarlah sebelum terlambat! Ini sebenarnya tida ada hubungannya dengan soal agama. Ini soal kerajaan bisnis para raksasa ekonomi dunia. Agama-agama kita sedang dimanfaatkan dan dibentur-benturkan agar kita tidak tahu siapa di balik semua ini. JANGAN TERTIPU!

Oleh: Saut Pasaribu, 9 Desember 2016
https://www.facebook.com/saut.pasaribu.79/posts/1533483793343572

PERSATUAN INDONESIA

Kita jangan lengah, neokolim (neo kolonialisme dan imperailisme) masih berlangsung walau dalam bentuk yang sangat tersamar. Metodenya masih itu-itu juga: pecah belah dan kuasailah (devide et impera). Ini adalah taktik penguasaan yang ampuh sepanjang masa. Dan tidak ada jurus penangkalnya selain PERSATUAN INDONESIA.

Mari renungkan peristiwa 1965 ketika bangsa Indonesia saling membantai diantara sesamanya yang menelan korban ratusan ribu orang hanya dalam hitungan bulan. Peristiwa tragis yang dirancang pihak-pihak asing untuk memuluskan agenda mereka mengeksploitasi sumber daya manusia dan alam kita setelah kita saling membantai.

Teman sebangsa, setanah air, yang masih bersemangat mengolah kemampuan berpikir saya sarankan untuk mencoba memahami dinamika internal bangsa kita dengan mencermati, dan tidak pernah melepaskannya dari, konstelasi dinamika internasional, yakni pembangunan imperium global dari penguasa-penguasa ekonomi di bidang energi, manufaktur industri sipil dan militer, dan sistem perbankan. Akar semua masalah-masalah global ada di sana. Isu-isu agama, ras, dan hal-hal primordial lain cuma alat untuk mengaburkan sumber masalah yang sebenarnya dan membenamkan penghuni nusantara dalam perpecahan yang menghancurkan kita semua.

Tidak ada pergolakan besar sosial-politik Indonesia yang pernah lepas dari rancangan Global Empire. Tanpa mencamkan proposisi ini, kita hanya akan berakhir pada kebuntuan dan kebingunan dalam mempelajari sejarah Indonesia modern hingga sekarang ini.

Resep: BACA BUKU-BUKU dan MEDIA ALTERNATIF
Oleh: Saut Pasaribu, 9 Desember 2016
https://www.facebook.com/saut.pasaribu.79/posts/1533807389977879?


Sepi ing pamrih rame ing gawe



“Sepi ing pamrih rame ing gawe” menanamkan pada kita bahwa bekeja keras itu tak perlu banyak pamrih. Pamrih boleh ada, asalkan sepi-sepi saja dan gawe-nya banyak. Jadi, kalau mau bantu orang, tidak perlu memikirkan pamrih. Meninggalkan kesan baik pada orang yang kita bantu itu harganya jauh lebih luar biasa daripada pamrih yang kita harapkan.


Orang yang ikhlas melaksanakan suatu pekerjaan tanpa mengharap sesuatu, inilah yang disebut “Sepi ing pamrih”. Tidak ada motif pribadi dalam dirinya kecuali ibadah dan pengabdian kepada sesama. Kalau orang menghargai hasil kerjanya, itu masalah lain.

Sunday, December 4, 2016

Ajining diri dumunung ana ing lathi

Artinya nilai diri (pribadi) seseorang terletak pada lidahnya (ucapannya), sedangkan nilai badan terletak pada pakaian yang dikenakan. Lebih jelasnya, dipercaya atau tidaknya seorang manusia tergantung dari lisan, ucapan, dan perkataan.
Peribahasa ini merupakan nasihat agar berhati-hati terhadap kata dan kalimat yang kita ucapkan. Sepatah dua patah kata yang meluncur dari lisan (mulut) kita akan didengar dan diperhatikan orang lain. Maka setiap ucapan harus diiringi dengan pertimbangan yang matang. 
Contohnya apabila sering berbohong dan tidak konsisten dalam berkata-kata, lama-kelamaan orang akan hilang kepercayaan. Siapapun yang suka mengucapkan kata-kata pedas, kasar, menusuk hati, tentu akan sulit membangun persahabatan. Sebab orang-orang akan menganggap bahwa yang bersangkutan memang suka melukai perasaan orang lain.

Tinggal glanggang colong playu . . .



Dalam bahasa Jawa, pepatah tinggal glanggang colong playu, menggambarkan tentara yang meninggalkan arena peperangan, bermakna orang yang tak bertanggung jawab.

Nilai seseorang dalam hidup ini tergantung dari rasa tanggung jawabnya. Makin tinggi nilai tanggung jawabnya makin tinggi kualitas hidupnya.

Tanpa bermaksud menggunjingkan orang lain, apalagi menyebut nama seseorang, atau  kelompok tertentu, namun apa yang terjadi di sekitar kita dapat dijadikan sebuah pelajaran bagaimana kepercayaan dan tanggung jawab menjadi salah satu kunci menjadikan seseorang lebih terhormat serta disegani orang lain.

Tanpa itu, sebenarnya kita sedang menghinakan diri sendiri.

Dalam illustrasi gambar, kerakusan si togog atas tahta, harta, berujung pada kaburnya ia dari arena "demo-demo-an" yang sedang marak belakangan ini. Sial sekali,  ia tidak termasuk dalam tim ke-11-an yang terpilih.

Ke mana si togog gerangan pergi?

Saya agak curiga pada saat "demo-demo-an" kemarin, nampak si togog tak serius, tumben-tumbennya ia membawa kembang mawar, simbol dari cinta tak biasanya begitu. serius sikitlah gog . . .!!! 
Seperti lagunya mbak Ayu Tingting, biasanya tak pake minyak wangi, tiba-tiba . . .

Jangan-jangan ia sedang menyempurnakan ketiga unsur tahta, harta dan wanita, dengan mabuk janda. Sebelum berkuasa, tak apalah, discount dengan beli 1 dapat 2 dulu.

Saturday, December 3, 2016

Siapakah (sesungguhnya) sesamaku???



Saya yang tadinya mengintip, akan merasa malu. Rasa malu, dengan demikian menyadarkan saya akan diri saya sendiri. Kesadaran tak refleksif atau spontan yang tadinya terfokus pada objek yang saya intip, akhirnya kemasukan kesadaran akan saya sendiri. Saya sadar akan diri saya atau subjektivitas diri saya, karena saya menjadi objek orang lain. ……………Jean-Paul Sartre

Orang lain menyatakan diri kepada kita melalui wajah-nya. Dalam keindrawian, wajah seorang lain menyatakan diri.…………… Emmanuel LĂ©vinas

Siapakah sesungguhnya sesamaku???