Ke utara, mencari cinta, Ke barat, mendapatkan harta,
Ke selatan, menuntut ilmu, Ke timur, memulihkan kekuatan.
Berdiam, Tapa, Tangan membentuk kuncup padma, Membunuh hasrat, Mematikan keinginan, Mendinginkan fikiran yang panas dalam puncak gunung es, Membeku dingin....
By : Don Sagundo Agemos Garamos
https://www.facebook.com/notes/r-yacob-christian-sihombing/dalam-catatanku-xv/169790689739651 5 Maret 2011
Pada saat duduk dibangku Sekolah Dasar, Ayah saya (penulis artikel
ini) pernah menceritakan suatu peristiwa kepada saya tentang jatuhnya “Pesawat Tentara Pusat” percis diladang padi milik oppung
pada saat itu. Penuturan sang Ayah bermula pada saat kami bekerja
diladang yang sering sekali menemukan peluru dengan panjang 5cm-20cm.
Peluru-peluru itu dikumpulkan lalu dibakar, takut-takut kalau
masih aktif. Demikian pula dengan potongan-potongan badan pesawat
berupa besi dan aluminium yang tertimbun di dalam tanah. Menurut Ayah
kami, pesawat itu jatuh setelah diawali oleh kabut hitam di udara yang
berasal dari badan pesawat, menukik tajam dan pecah terpisah menjadi
4-5 bahagian serta meledak dengan dahsyat. Pilotnya dibawa ke rumah
sakit di Saribudolok dan meninggal serta dimakamkan secara Katholik.
Masih menurut Ayah kami yang pada saat itu berumur 9 (sembilan)
tahun (dan semua orang tua di kampung itu khususnya yang berumur lebih
50 tahun) mengetahui peristiwa tahun 1958 itu dengan baik. Menurut
mereka, “Pesawat Tentara Pusat’ itu ditembak jatuh oleh ‘Gerombolan’ yang dipimpin oleh “Kolonel Simbolon” dari kolong rumah di Huta Tongah-sebuah desa yang jaraknya 52 Km dari Pematang Siantar menuju Kabanjahe. Lebih daripada itu, yang mereka ketahui adalah bahwa ’Kolonel Simbolon’ pada waktu itu adalah pemimpin PRRI-Permesta yang berseberangan dengan ’Tentara Pusat’ di Medan. Peristiwa tentang jatuhnya ’Pesawat Tentara Pusat’
itu hingga kini masih diingat segar oleh penduduk disana dan diwariskan
dari generasi ke generasi apalagi bagi keluarga kami, terutama oleh 4
(empat) orang Ayah bersaudara yang pada saat kejadian itu sedang
menjagai padi (mamuro) diladang.
Peristiwa Sejarah yang mereka ketahui seperti diatas tentulah
berdasarkan penuturan lisan yang mereka dapat sebagai respon terhadap
peristiwa yang baru saja terjadi. Atau pula karena peristiwa itu telah
terjadi relatif lama, maka penuturan lisan itu dipadu dengan buku-buku
pelajaran sejarah yang mereka baca. Tetapi yang menarik dari ’cerita’ diatas adalah terbentuknya ingatan kolektif masyarakat bahwa nama ’Kolonel Simbolon’ identik dengan ’gerombolan’ atau ’pemberontak’ yang tentu saja berseberangan dengan ’Tentara Pusat”.
Demikian pula, apabila buku Sejarah Nasional Indonesia ataupun buku
pelajaran sejarah khususnya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
yang diprakarsai oleh Nugroho Notosusanto-mantan Menteri Pendidikan
Indonesia diperiksa maka nama Kolonel (Maludin) Simbolon (selanjutnya ditulis dengan akronim KMS) tercatat sebagai ’pemberontak’.
Dalam buku-buku itu, hampir tidak ditemukan ’kontribusi’ KMS dalam
membina dan memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Padahal, secara
jelas diketahui bahwa KMS memilih masuk menjadi militer-meninggalkan
pekerjaan sebagai guru-adalah akibat kesewenangan tentara Jepang yang
menangkap, menyiksa dan membunuh orang pribumi termasuk abang kandungnya
Johan Simbolon. Namun, dirinya kadung dianggap sebagai sosok pemberontak yang mesti disingkirkan dari panggung negara-menjalani karantina politik dan dinonaktifkan (dipecat) sebagai perwira militer.
2. Maludin Simbolon Hingga Tahun 1945
Maludin Simbolon adalah anak laki-laki kedua dari enam orang
laki-laki dan memiliki 10 orang saudara laki-laki maupun perempuan dari
pasangan Julius Simbolon dan Nursiah Lumbantobing. Dari nama ayahnya,
dapat diketahui bahwa keluarga itu telah menganut Kristen yang
disebarkan oleh die Rheinischen Missionsgesellschaft (RMG)
dimana Dr. I. L. Nommensen bekerja. Lahir pada tanggal 13 September 1916
dimana sang ayah sedang bertugas di luar Pearaja-Tarutung. Dikenal
sebagai anak ‘Mandur Pulo Tao’ dimana sang ayah bertugas sebagai mandor untuk mengurusi pekerja
di tempat peristirahatan Belanda. Kehidupan di Pulo Tao turut membentuk
kepribadian dan karakter Maludin Simbolon yang tegas, disiplin, teratur
dan hidup bersih. Pada masa kanak-kanaknya, Maludin Simbolon sudah
sering bermain bersama dengan anak-anak Belanda yang berlibur di Pulo
Tao.
Menamatkan pendidikan dengan prestasi terbaik dari sekolah HIS (Hollandsch Inlandse School)
yakni sekolah bergengsi pada saat itu di Narumonda pada usia 16 tahun
dengan menghabiskan masa sembilan tahun untuk menamatkan jenjang
pendidikan sekolah rendah. Tamat dari HIS, kemudian melanjutkan sekolah
ke Christelijke Hollandsch Inlandsche Kweekschool (Chr. HIK) yakni
sekolah guru di Solo dan tamat pada tahun 1938 dengan predikat terbaik.
Berangkat dari Belawan ke Tanjung Priok dengan menumpang kapal Koninkelijke Paketvaart Matschappij (PKM) yakni Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda.
Tamat dari Chr. HIK Solo, kemudian menjadi guru sekolah HIS
di Kartasurya (Solo). Selama menjadi guru, berkenalan dengan seorang
bidan yang bekerja di poliklinik zending yang kelak menjadi istrinya.
Dari perkawinan itu, Ia dianugerahi dua orang putri dan tiga orang putra
yang kelima anak itu diberi dengan nama berkharakteristik Jawa.
Cita-citanya memperoleh ijazah dari Hoofdacte Cursus tidak
kesampaian berhubung pecahnya Perang Dunia II di Eropah terlebih pada
tanggal 10 Mei 1940 negeri Belanda telah diduduki pasukan Jerman. Ia
memutuskan untuk keluar dari sekolah HIS Solo, kemudian menjadi guru di
Curup. Selama di Curup, ia bertemu dengan Sucipto yang memperkenalkan
paham–paham nasionalisme khususnya berdasarkan pendapat Ir. Sukarno.
Kemudian dirinya semakin memahami kondisi sosial politik tanah air
terlebih setelah berlangganan dengan majalah ‘National Commentaren’ yang dibina oleh Dr. Sam Ratulangie yang dikenal dengan tokoh Pergerakan Kebangsaan dan anggota Volksraad.
Serangan fajar tentara Jepang ke Pangkalan Militer Angkatan Laut
Amerika di Pearl Harbour pada Desember 1941, telah mendorong lajunya
PD-II. Situasi dan kondisi di Indonesia beralih dari tangan Belanda ke
Jepang yang ditandai dengan mendaratnya sekitar 60.000 personel pasukan
Jepang di Batavia pada tanggal 1 Maret 1942 dibawah pimpinan Jenderal
Hithosi Imamura. Kedatangan tersebut telah memukul mundur pasukan
Belanda dari beberapa kota di Pulau Jawa dan mendorong lahirnya Perjanjian Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942 berupa penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang.
Pada saat itu terjadi massacre yakni pembunuhan
besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan Jepang terhadap kaum terdidik
dan pemuka masyarakat. Salah satu korban pembunuhan itu adalah Johan
Simbolon, abang kandung Maludin Simbolon yang bekerja sebagai pengawas
perusahaan minyak di Plaju, tewas setelah ditangkap dan disiksa oleh
Jepang. Atas kejadian itu, nasionalisme dalam diri seorang Maludin
Simbolon menjadi berkobar dan mendorong dirinya masuk sekolah militer Giyugun
binaan Jepang yang dibentuk terutama untuk menghadapi pasukan Sekutu.
Tamat dengan pangkat Letnan Dua dan ditempatkan di Markas Batalyon Giyugun
Sumatra Selatan bagian Pendidikan dan Pelatihan. Dirinya acapkali
dipakai sebagai penerjemah inspeksi pasukan Jepang ke daerah-daerah
sehingga banyak melihat kekejaman tentara Jepang terhadap bangsa
Indonesia. Keadaan itu, telah menimbulkan antipati dan kebencian yang
luar biasa terhadap Jepang dan bersama dengan temannya pernah
merencanakan pemberontakan terhadap Jepang. Namun, setelah mendengar
anjuran Dr. A.K. Gani rencana itupun dibatalkan. Masa berakhirnya
pemerintahan Jepang di Indonesia ditandai dengan penyerahan tanpa syarat
pasukan Jepang kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.
3. Hingga Penyerahan Kedaulatan 1949.
Enam hari setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, maka pada tanggal
23 Agustus 1945 dibentuk pemerintahan Republik Indonesia Keresidenan
Palembang dengan Dr. A.K. Gani sebagai kepala pemerintahan. Disamping
itu, sesuai dengan putusan PPKI di Jakarta turut pula dibentuk Badan
Penjaga Keamanan Rakyat (BPKR), Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah
dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Selanjutnya, atas prakarsa E.M.
Noor di Pagaralam dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang
anggotanya berasal dari perwira eks Giyugun, Kepolisian dan Heiho.
Pada saat itu, Maludin Simbolon ditetapkan sebagai Komandan Divisi
Palembang Ulu berpangkat Kolonel. Kemudian, atas prakarsa A.K. Gani,
pemegang mandat TKR se-Sumatra dibentuk badan yang mengkordinasikan TKR
se-Sumatra yang terdiri dari enam divisi dimana KMS ditetapkan sebagai
Komandan Divisi-I Sumatera Selatan/Lahat. Sementara untuk divisi IV
Sumatra Timur/Medan ditetapkan Kolonel Ahmad Taher dan divisi-VI
Tapanuli/Sibolga ditetapkan Kolonel Muhammad Din.
Pasca restrukturisasi TKR se-Sumatra, KMS sebagai Komandan Divisi-I
membentuk 4 resimen dan 15 batalyon di Sumatra Selatan. Akan tetapi,
markas divisi-I yang berada di pedalaman kurang mendukung perlengkapan
pasukan yang memadai seperti senjata, asrama, dapur umum, pengobatan
dan finansil pasukannya. Oleh karena itu, dua areal tambang yang
terletak di Divisi-I yakni tambang Batubara Bukit Asam dan Tambang Emas
di Bengkulu dioptimalkan potensinya. Pada bulan Juli 1946 diadakan rapat
Komandemen Sumatra untuk membentuk Staf Komandemen yang dilaksanakan di
Bukittinggi dan KMS ditetapkan untuk memegang bidang organisasi dan
operasi. Strategi jitu perang diperolehnya setelah membaca buku ‘On War’ karangan Clausewitz
yakni buku standar yang berisikan teori-teori perang yang ditopang oleh
penguasaan bahasa Jerman-nya yang cukup baik. Pada bulan itu juga,
KMS pindah ke Parapat bersama dengan dua orang personel staf komandemen
lainnya. Hal ini telah mendekatkan diri KMS dengan Gubernur Sumatra
yang berkedudukan di Pematang Siantar disamping untuk pembentukan
divisi-divisi diwilayah Sumatra bagian Utara yang kurang berjalan dengan
baik.
Pertemuan Staf Komandemen Sumatra yang berencana melakukan
restrukturisasi dengan komandan divisi Aceh, Tapanuli dan Sumatra Timur
menghadapi jalan buntu. Oleh karena itu, Staf Komandemen berencana
melebur divisi tersebut menjadi divisi Aceh dan Sumatra Timur dengan KMS
sebagai komandan divisi. Tetapi rencana tersebut gagal mengingat
sulitnya penyatuan tiga divisi terdahulu.
Prakarsa Inggris untuk mengatur perundingan antara Belanda dengan
Indonesia dimeja perundingan disambut baik oleh Sutan Syahrir sebagai
Perdana Menteri. Akan tetapi, sebelum ke meja perundingan terlebih
dahulu dicapai kesepakatan genjatan senjata. Dengan demikian, delegasi
militerpun disusun yang mewakili dua daerah utama Indonesia yakni Jawa
dan Sumatra dimana KMS ditetapkan delegasi wilayah Sumatra.
Selanjutnya, bersama dengan M. Jusuf (walikota Medan) berangkat ke
Pegangsaan Timur 56 dan melapor ke pimpinan TRI di Yogyakarta dan
Presiden Soekarno untuk menjelaskan keadaan di Sumatra. Dalam
pembicaraan genjatan senjata tanggal 20 dan 26 September 1946 dengan
Inggris, TRI menawarakan lima syarat. Tetapi, genjatan senjata tersebut
menemui jalan buntu. Perundingan genjatan senjata baru tercapai pada
tanggal 14 Oktober 1946 dan diratifikasi pada 1 November 1946.
Situasi yang sangat kacau dan pertempuran yang terjadi dimana-mana
mendorong Kepala Staf Umum TRI untuk membentuk tiga divisi TRI di
Sumatra yakni divisi VIII Garuda di Sumatra Selatan (Lampung, Bengkulu,
Pelembang dan Jambi) yang di komandoi oleh KMS, Divisi XI Banteng di
Sumatera Tengah (Sumatra Barat dan Riau) serta divisi X Gajah untuk Aceh
dan Sumatra Utara. Naluri militer KMS mendorongnya untuk mengadakan
persiapan-persiapan apabila suatu saat Belanda menyerang. Oleh karena
itu, dirinya senantiasa melakukan reorganisasi pasukan menjadi brigade
tempur serta inspeksi keseluruh daerah divisinya. Termasuk mengawal
Hatta yang disambut oleh Gubernur Sumatra Muhammad Hasan selama berada
dan berbicara pada rapat raksasa di Lahat.
Pasca penandatangangan perjanjian Linggarjati pada bulan
Maret 1947, keadaan di Indonesia bukan membaik tetapi justru lebih
memanas hingga pecahnya Agresi Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947.
Agresi pertama ini sangat sukses bagi Belanda terutama dengan taktik
serangan cepat (blitzkrieg) dengan mudah menduduki kota-kota
utama di Jawa dan Sumatra. Namun demikian, mendapat kritik tajam setelah
mendengarkan pidato Syahrir di depan sidang DK-PBB pada 14 Agustus 1947
khususnya dari Amerika Serikat dan Inggris yang telah mengakui RI
secara de facto. Dampak daripada tekanan internasional itu,
telah memaksa Belanda-RI untuk meneken kembali perjanjian damai yang
dikenal dengan Perjanjian Renville pada 8 Desember 1947. Anggota komisi
militer perjanjian Renville dari wilayah Sumatra ditunjuk KMS
untuk segera berangkat ke Yogyakarta menemui Dr. Johannes Leimena
sebagai ketua Komisi Militer. Dalam keanggotaan itu Kolonel T.B.
Simatupang juga turut serta.
Keputusan perjanjian Renville adalah berupa 12 pasal persetujuan
politik yang diajukan Belanda dan 6 prinsip tambahan yang diusulkan
Komisi Jasa-jasa Baik. Keputusan Renville berakibat buruk bagi Indonesia
berupa pengerdilan wilayah-wilayah yang disebut dengan Indonesia.
Meski demikian, sesuai dengan perundingan itu maka untuk pelaksanaan
genjatan senjata di daerah, komisi-komisi militerpun dibentuk dan
sebagai pengawas dibentuk United Nations Commision for Indonesia(UNCI)
dimana KMS ditunjuk untuk membentuk komisi militer di wilayah Sumatra.
Disamping untuk membentuk komisi militer dalam rangka genjatan senjata
juga sekaligus penarikan garis perbatasan (demarkasi) yang memisahkan
kedudukan TNI dan tentara Belanda. Instruksi presiden pada tanggal 3
Juni 1947, dan perintah Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra)
untuk melebur TRI dan Laskar Rakyat menjadi TNI dimana Kolonel Nasution
diangkat sebagai Panglima Tentara dan Teritoirum Jawa (PTTJ) dan
Kolonel Hidayat di Sumatra banyak mendapat tantangan dari pasukan.
Persoalan di Tapanuli dengan membentuk Komando Subteritorium VII adalah
salah satu contohnya. Demikian pula persoalan di Subter II, III dan IV
yang masih menyebut SUBKOSS.
Setelah perjanjian Renville, kondisi tanah air belum juga pulih. Pada
tanggal 19 Desember 1948 muncul ancaman perang besar-besar yang
disiarkan oleh Agence France Press (AFP) dan Reuters. Ancaman
tersebut berubah menjadi kenyataan dan dikenal dengan Agresi Belanda
II. Khusus di wilayah komando KMS, rencana Belanda itu telah diketahui
oleh KMS dari ajudannya. Oleh karena itu, pasukan KMS meledakkan pabrik
minyak dan membakar kebun teh Belanda di Pagaralam serta meruntuhkan
beberapa jembatan untuk merintangi kedatangan Belanda. Pada saat itu,
keadaan Palembang sangat berkecamuk. Pemerintahan Sipil Sumatra
dipindahkan ke Muara Aman dan segera pada 22 Desember 1948 dibentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dimana AK. Gani dan KMS
ditetapkan sebagai Gubernur militer dan wakilnya. Namun, akibat
gempuran tentara Belanda, maka pada tanggal 23 Desember 1948 pasukan KMS
di Palembang menyingkir ke Jambi.
Dampak agresi yang kedua ini, terutama pendudukan Belanda atas
Yogyakarta telah memaksa Belanda turun ke meja perundingan yang dikenal
dengan perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Perundingan ini
diawali oleh desakan mancanegara seperti DK-PBB, KAA di Delhi pada
20-23 Januari 1949 dan sangksi Amerika melalui Marshal Plan terhadap Belanda. Hingga pada akhirnya membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB)
di Den Haag pada 23 Agustus-2 November 1949 yang produk utamanya adalah
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan penarikan tentara Belanda pasca
penyerahan kedaulatan.
4. Komandan Tentara Teritorium-I Bukit Barisan
Pada bulan Januari 1950, KMS diundang ke Jakarta untuk mendampingi
Presiden Sukarno bersama dengan Nasution dan Sungkono melakukan
kunjungan resmi ke India berkaitan dengan perayaan kemerdekaan India dan
diterima oleh Jawaharlal Nehru di Calcutta. Dari India terbang menuju
Karachi (Pakistan) terus ke Rangoon (Burma) dan kembali ke Jakarta.
Selanjutnya, terjadi strukturisasi personalia Markas Besar Angkatan
Darat (MBAD) dan Angkatan Perang. Dalam restrukturisasi tersebut,
Kolonel A.H. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan
Kolonel T.B. Simatupang ditetapkan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.
Sementara KMS memegang jabatan di MBAD. Berdasarkan perintah Menteri
Pertahanan yakni Hamengku Buwono IX, KMS dipersiapkan ke Medan untuk
menggantikan Kolonel A.E. Kawilarang sebagai Komandan Tentara Teritorium
Sumatra Utara (Ko. TTSU) yang dipindahkan untuk menumpas Republik
Maluku Selatan (RMS).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950, tentang pembagian
wilayah Republik Indonesia Serikat menjadi 10 propinsi, maka Sumatra
Utara ditetapkan menjadi salah satunya. Kondisi di wilayah paling Utara
di Pulau Sumatra itu terdapat tiga satuan wilayah dan pemerintahan,
yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Timur Utara, Propinsi Tapanuli dan
Sumatra Timur Selatan. Kemudian terdapat pula satu negara yakni Negara
Sumatra Timur (NST). Dua propinsi RI tersebut dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah RI. No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 sedangkan NST yang meliputi
Keresidenan Sumatra Timur mencakup Langkat, Tanah Karo, Deli, Serdang,
Simalungun, Asahan dan Labuhan Batu adalah bentukan Belanda. Demikian
pula yang tergabung dalam Propinsi Aceh dan Sumatra Timur Utara meliputi
Keresidenan Aceh dan Sumatra Timur Utara yakni Tanah Karo dan Langkat.
Sedang Propinsi Tapanuli dan Sumatra Timur Selatan meliputi bekas
Keresiden Tapanuli dan Sumatra Timur selatan yakni Deli, Serdang,
Simalungun, Asahan dan Labuhan Batu. Kondisi tumpang tindih kewilayahan
tersebut membuat penyatuan wilayah kedalam propinsi semakin sulit.
Namun, penyatuan wilayah tersebut menjadi Propinsi Sumatra Utara relatif
mudah setelah keluarnya seruan kembali ke negara kesatuan RI. Dengan
demikian, NST dengan sendirinya membubarkan diri dan Acehpun mau
menerimanya walau dengan berat hati.
Sejalan dengan penataan wilayah itu, KMS segera melakukan penataan
wilayah militernya. Tak lama setelah menjadi Ko. TTSU, KMS melakukan
perluasan wilayah hingga Sumatera Barat (divisi Banteng) dan Riau
(Divisi Babiri). Dengan perluasan itu, komandopun dirubah menjadi
Komando Tentara dan Teritorium-I (Ko. TT-I) yang di ikuti oleh perubahan
sebutan komandan menjadi Panglima. Tak hanya itu, KMS juga memberikan
nama Bukit Barisan dibelakang nama Ko. TT-I sehingga sebutan lengkapnya
adalah Komando Tentara dan Teritorium-I Bukit Barisan. Nama
Bukit Barisan, dipilih dan ditentukan oleh KMS untuk melambangkan
kekuatan yang mempersatukan wilayah komando dan Bukit Barisan sendiri
pernah menjadi basis pertahanan selama perang Gerilya. Diakuinya bahwa,
dirinya sebagai Panglima tetapi dipihak lain adapula Gubernur Militer
seperti FL. Tobing di Tapanuli dan Daud Bureuh di Aceh, Tanah Karo dan
Langkat. Oleh karena itu, KMS sering melakukan pembinaan komando dan
teritorial. Demikian pula dengan melancarkan operasi pembersihan ke
tempat dan daerah yang rawan keamanan mulai dari Simalungun, Karo dan
Deli Serdang dibawah sandi Operasi Sumatra Timur (OST). Demikian pula
sandi Operasi Sihar Hutauruk (OSH), sandi OTERI (Operasi Terra
Incognito) yakni pembersihan jalanraya dari Lhokseumawe hingga Kutaradja
Banda Aceh.
Tugasnya selaku Panglima TT-I Bukit Barisan sangat menelan waktu,
pikiran dan tenaga. Disamping harus melakukan operasi-operasi
pembersihan, juga harus menghadapi aksi pemogokan buruh yang beraliran
komunis di Belawan yang dilakukan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia (SOBSI), demikian pula harus menghadapi pemberontakan Daud
Bureueh di Aceh pada tanggal 20 September 1953 pada saat Bung Karno
membuka Pekan Olahraga Nasional (PON) III di Stadion Teladan Medan.
Operasi pemulihan keamanan di Aceh langsung dibawah pimpinan Panglima
TT-I Bukit Barisan dengan sandi Operasi Biawak disamping dua operasi
lainnya. Keamanan di Aceh baru dapat dipulihkan melalui perundingan
damai di Helsinki pasca terjadinya gempa bumi di Nanggroe Aceh
Darussalam. Kelak, Komando Tentara dan Teritorium-I Bukit Barisan,
dikenal dengan Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan, sebutan komandannya adalah Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Bukit Barisan.
5. Penutup.
Sosok dan ketokohan KMS dalam militer terutama dalam periode
1942-1950 terbilang sangat sukses. Dimulai dengan rintisan sekolah
militer Giyugun sampai menyandang sebagai Panglima TT-I Bukit
Barisan. Kiranya, sumbangsih dan kontribusi KMS untuk tanah
airnya-Indonesia-sangatlah besar terutama memasuki klimaks Indonesia
Merdeka dan sepuluh tahun pasca kemerdekaan itu.
Tulisan ini, bukan bermaksud menafikan apa yang sudah ’terlanjur dicatat’
seperti dalam sejarah Indonesia yang telah membentuk ingatan kolektif
terhadap dirinya, tetapi cenderung melihat keturutsertaannya dalam
menegakkan Indonesia. Ingatan kolektif masyarakat desa tentang penembak
jatuh ”Pesawat Tentara Pusat’ seperti dikampung itu adalah rekontruksi peristiwa yang sengaja ditempelkan dalam upaya menumbuhkan ’keindonesiaan’. Kini, pastilah seorang KMS tidak mengharapkan rehabilitasi atas keterlanjuran itu, atau juga menginginkan ’Maha Putra Utama’
atas jasa-jasanya. Tetapi, kalaulah seorang KMS boleh berharap,
barangkali ia akan mengajak 220 juta orang penduduk Indonesia untuk
melihat kembali peristiwa sejarah itu, karir militernya dan
perjuangannnya terhadap Indonesia secara komprehensif dan jujur.
Persoalan ’terlanjur dicatat’ itu adalah sisi lain yang harus
dilihat secara objektif. Masalahnya adalah, sampai seberapa dapatkah
kita mampu melihatnya secara objektif?.
Oleh: Erond L. Damanik, M.Si Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Lembaga Penelitian-Universitas Negeri Medan
https://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2016/03/05/kolonel-maludin-simbolon-ingatan-kolektif-masyarakat-terhadap-jatuhnya-pesawat-tentara-pusat-di-huta-tongah-2/
Posted on
Berawal dari sebuah kisah dalam cerita pewayangan.
Konon, jaman dulu di pulau Srilangka ada beberapa negara kecil.
Seringkali negara-negara kecil tersebut saling berperang memperebutkan
wilayah. Diantara negara-negara tersebut ada negara kecil Alengko dengan
Rajanya Prabu Somali. Putri sulungnya bernama Dewi Sukesi telah
menginjak remaja dan sudah saatnya menikah. Raja Danarjo dari kerajaan
Lokapala yang juga di pulau Srilangka tertarik dengan Dewi Sukesi.
Kehendak Sang Prabu dilambari motif politis. Ia ingin Alengko dimerger
dengan Lokapala.
Dewi Sukesi yang hanya sedikit lebih ayu dari Omas atau Yati Pèsèk,
punya syarat, ia mau dinikahi asalkan diajari ilmu Sastro Jendro
Yuningrat Pangruwating Diyu. Sebuah ilmu yang wingit & pelik.
Untungnya Prabu Danarjo anak begawan Dr. Wisrowo yang profesor emeritus
kesusastraan dan rektor dari Universitas Girijembangan. Segera
dipersilahkannya Woro Sukesi untuk mengikuti kuliah Bopo wiku. Karena
anak Raja, Sukesi mendapat keistimewaan kuliah khusus sendiri.
Sebenarnya nilai Sukesi pas-pasan, kebanyakan C, beberapa C+, dan ada
yang C-. Selain kuliah Sastro Jendro yang jadi kuliah pokok, Woro
Sukesi juga diizinkan kuliah minor. Boleh Fisika Quantum, Kimia,
Geografi, Elektronika, Hukum, dll. Karena kuliah sudah masuk semester
III, Sukesi diizinkan masuk ke perpustakaan pribadi Sang Resi. Semua
naskah diperbolehkan dipelajari kecuali sebuah kitab yang diberi warna
biru. Buku sakral ini bukan untuk perjaka & perawan. Sebagai
mahasiswi yang patuh, Sukesi tidak pernah berupaya mempelajari buku
tersebut.
Pada suatu malam yang kelam Sang Resi berkenan memberikan kuliah
minor. Dititahkannya Sukesi mencari textbook di perpustakaan pribadinya,
apa saja yang ingin dipelajarinya. Waktu itu hujan rintik-rintik dan
banyak angin. Suasananya kekes, mendung dan mulai gerimis. Dengan
takut-takut, Woro Sukesi ke perpustakaan yang terletak jauh dari ruang
kuliah pribadi. Ketika sampai di perpustakaan, Hyang Bayu – dewa angin –
berkelebat dan… byarpet… listrik mati, PLN mematikan jaringan. Di luar
angin mendesis, gerimis makin deras. Tergesa-gesa Sukesi yang dasarnya
penakut sekenanya mengambil sebuah buku. Kemudian ia berlari-lari kecil
kembali ke ruang kuliah pribadi. Takut kudanan.
Wiku Wisrowo dengan telaten dan penuh kesabaran mengajari Sukesi yang
IQ-nya pas-pasan. Diluar hujan dan hawa terasa adem. Di dalam ruang
belajar dian berkebat kebit kena angin. Terpaksa mereka duduk
berdempetan agar bisa membaca kitab itu dengan lebih baik. Entah apa
yang terjadi, kedua insan yang umurnya terpaut jauh tiba-tiba menjadi
berdebardebar. Nafas menjadi sesak. Buku apa ini, wingit betul ? Embuh,
kedua insan itu seolah tidak siuman meneruskan pelajaran dengan lebih
nggethu.
Malam makin larut dan kedua insan itu makin asyik. Mereka merasakan
sebagian badannya kruget-kruget abuh (bengkak) padahal tidak ada tawon
kemliwat. Ketika sampai tahap ‘praktikum’, nafas makin ter-sengal-sengal
! Wé ladhalah …..
Dan . . .
Begitulah kedua insan itu terhanyut meneruskan ‘praktikum’ sampai
posisi-posisi akrobatik. Sampai-sampai Bopo Resi jatuh krengkangan. Lha,
wis kèwut jé. ‘Praktikum’ dilakukan ber-ulang-ulang semalaman sampai
keduanya kotos-kotos mandi keringat.
Keesokan paginya, guru-murid itu teler kelelahan saling berpelukan
dalam keadaan nglegeno. Betapa kagetnya dua insan itu. Apa yang telah
terjadi semalaman ? Blaik, …. ternyata buku yang tadinya ingin
dipelajari adalah MENCINTAI, ternya adalah BERCINTA ! Karena mempelajari
Sastro Jendro Yuningrat Pangruwating Diyu, kedua insan itu menemui
bilahi jadi birahi. Wah, wis kebacut ! Bablaské sisan, pénak jé !
Gara-gara salah mengambil buku, kuliah Sukesi tersendat karena buntang
bunting terus, sampai anaknya enam. Bukannya mendapatkan ijasah, malah
anaknya pating jredhul.
Bukan alang kepalang marahnya Prabu Donopati ketika mengetahui bahwa
calon bininya bunting karena dikeloni bapaknya sendiri. Dengan berang
Sang Prabu melabrak ayahnya yang trondholo di Universitas Girijembangan.
Jedher ! Pintu kantor rektor ditendangnya dengan sekuat tenaga.
“ Bopo wiku, sampéyan ini bagaimana, sih ? Katanya kuliah sastra kok malah muridnya dikeloni ? “
“ Sareh, ngger, silahkan duduk …. “
“ Sudah, nggak usah basa basi, … biar saya berdiri saja, … kok malah nyinau yang saru-saru itu pripun, Bopo Resi ? “
“ Lha, aku sendiri samasekali tidak nggraito apa-apa. … aku kira
sedang belajar anatomi bagian sarap-sarap sensitip … jebul malah kena
bilahi … eh kleru … kena birahi “
“ mesthinya sampéyan ini mbok nyebut to, wong sudah kèwut. Harusnya
berdoa di sanggar pamujan di senjakala usia, menunggu kedatangan Sang
Hyang Yomodipati. Kok malah … “
“ Umur itu dumunung dalam pikiran, ngger. Kalau kita berpikir masih
muda maka kita akan serasa masih muda. Kalau kita masih merasa going
strong, tidak ada yang bisa ngaru biru. Kulawik, anak Prabu, yang harus
sering ke sanggar pamujan bukan yang kèwut- kèwut tetapi justru yang
masih muda2 … “
“ Bopo wiku, saya ini sedang marah. Saya kesini bukan untuk kuliah …
cewek yang masih belasan tahun kok sampéyan keloni itu rak tidak etis
to, kanjeng Resi ? Maksud saya, biar saya peram, kok malah sampéan
brakoti dhéwé. “
“ aku terima salah anak Prabu. Tetapi ketauilah bahwa yang namanya
cinta itu buta. Tidak memandang usia. Bisa saja aku yang sudah kèwut
jatuh cinta dengan ABG .. “
“ sudah, sudah, sudah, … saya tidak butuh wejangan, terus anak-anak haram itu piyé … ? “
“ hus ! Tidak ada yang namanya anak haram. Yang ada ortu haram jadah seperti ané. “
“ Mesthinya anak polah Bopo kepradah atau anak bertingkah bapak
lintang pukang. Ini kok kulawik. Bopo polah anak kepradah – babe
macem-macem, anak jadi heboh “
“ Ho’ oh, ya …. “
“ wis, wis, wis, …. tak tigas janggamu ! “
Dengan sepenuh tenaga ditikamkannya senjatanya ke Resi Wisrowo namun
sampai berulangkali tetap tidak bisa melukai. Lama kelamaan Sang Prabu
Donopati kelelahan sendiri. Donopati merasa sangat malu dengan perilaku
ayahnya yang malah ngeloni calon menantunya. Tetapi ia tidak berdaya,
wiku Wisrowo terlalu sakti, ia tidak bisa bahkan hanya untuk melukai
ayahnya. Akhirnya Donopati putus asa dan ia minta ayahnya membunuhnya
karena ia tidak tahan dirundung malu punya ayah seperti itu. Tentu saja
Sang Begawan menolak membunuh putranya. Saking marahnya, Prabu Donopati
mem-bentur-benturkan kepalanya ketembok sampai berdarah-darah.
Begawan Wisrowo serba salah. Disatu sisi ia sangat mencintai bini
mudanya dan ingin mengecap madunya hidup dengan kembang yang sedang
mekar itu. Disisi lain ia adalah pendhito yang seharusnya malu bersikap
seperti itu. Ia juga sedih melihat betapa anaknya yang dikasihinya
hancur mentalnya. Akhirnya, pupus sudah hati Sang wiku. Ia iklas
melepaskan kehidupan sorgawinya dengan bini mudanya. Ia iklas menebus
kesalahannya kesalahannya dengan ajalnya. Dengan tenang dicopotnya rompi
kebalnya, yang dibelinya di Toko Ramai Ngalioboro. Ia sekarang tidak
lagi digdoyo. Kemudian Sang wiku membentak putranya
“ Bocah gembèng ! Begitu saja nangis kayak anak kecil. Itu bukan
sikap Raja. Memalukan sekali ! Akupun malu punya anak seperti itu ! Anak
gembus ! Ayo, gunakan senjatamu … bunuhlah aku … kalau bisa ! “
Ditantang seperti itu, kemarahan Donopati meledak lagi. Dengan sekuat
tenaga ditusukkannya kerisnya ke dada ayahnya. Blesss, keris menancap
telak didada sepuh wiku Wisrowo. Pabu Donopati terpekur memandang
jenasah ayahnya. Ia tidak menduga kejadiannya akan seperti itu. Semula
ia hanya berniat meledakkan kemarahan dan sama sekali tidak ada
keinginan membunuh ayahnya. Tetapi semua berlangsung begitu cepat dan
diluar dugaannya. Yang tersisa adalah getun …..
Disadur dari: Bilahi Birahi di Girijembangan
Karya: S.Brotosumarto
https://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2016/02/14/mencinta-bercinta/
Posted on
Tuan mendalilkan, bahwa merayakan tahun baru dengan terompet, adalah pemubajiran, adalah kawannya setan.
Apakah dalam hal ini, tuan ingin membaptiskan diri tuan sendiri adalah teman, minimal cs-nya Tuhan?
Dengan membeli terompet bagi kedua anak saya, juga buat istri saya
yang memang sedang keranjingan dengan terompet, apakah tuan ingin
mengatakan bahwa saya telah melakukan tindak pidana pemubajiran, dan
penelantaran anak dan istri, dengan dalil bahwa setelah membeli terompet
maka anak-anak dan istri saya tidak bisa saya beri makan?
Ataukah tuan sedang memproduksi keberisikan, ketegangan, dan keriuhan pada diri sendiri. Sebuah pseudo,
bayang-bayang semu serupa kegentaran pada hantu di dalam pikiran tuan
sendiri, sampai tuan menjadikannya benar-benar ada, sampai hantu itu
seakan benar-benar ada di kamar tuan, lalu tuan berjuang mati-matian
untuk menaklukkannya, sembari menepuk dada bahwa tuan adalah pahlawan
kebenaran.
Akh, buat apa pula berdebat dengan tuan dan dalil-dalilnya.
Mencari siapa pencipta trompet adalah resolusi yang paling mendesak di tahun baru ini.
https://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2016/01/04/apa-persoalan-tuan-dengan-terompet/
Posted on
Membaca lagi surat-suratmu, hatiku jatuh rindu
Tak sadar pada langit kamarku, kulukis kau di situ
Waktu yang berlalu, dan jarak masih saja terbentang
Penamu bicara, menembus ruang menyapa sukmaku
Mendesah lembut angin membawa butiran hati lara
Ternyata meraih kesempatan, tak semudah kusangka
Kau setia menunggu lelaki kecil menantang hidup
Kau sertakan do’a, seolah mantra menjelma nafasku
Memendam tanya seg’ra terucap
Belahan jiwa apa kabarmu
Kuharap s’lalu tetap kau jaga
Tumbuhan cinta yang di ladang kita …
Kau setia menunggu lelaki kecil menantang hidup
Kau sertakan do’a, seolah mantra menjelma nafasku
Memendam tanya seg’ra terucap
Belahan jiwa apa kabarmu
Kuharap s’lalu tetap kau jaga
Tumbuhan cinta yang di ladang kita
Aku … jauh di sini menggapai cita
Hingga … satu saat pasti ku kan kembali
Kan kujemput dikau Sang Putri, pada saatnya nanti
Berkereta kencana kubawa pergi, ‘tuju istana di sana ku bertahta
Memendam tanya seg’ra terucap
Belahan jiwa apa kabarmu
Kuharap s’lalu tetap kau jaga
Tumbuhan cinta yang di ladang kita
Aku … jauh di sini menggapai cita
Hingga … satu saat pasti ku kan kembali
https://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2015/04/30/b-e-l-a-h-a-n-j-i-w-a/
Posted on
Kadang Aku,
Masih Saja Mencari Bayangan Dirimu,
Rasa Rindu,
Yang Tak Pernah Kan Hilang Walau Ditelan Waktu
Kadang Saat Kemaraupun Hujan,
Kadang Malam Tak Berbintang,
Apakah Mungkin Yang Kurasakan,
Akan Jadi Kenyataan
Seakan Matamu Bicara,
Yang Tak Mampu Untuk Berkata,
Jangan Biarkan Kutersiksa,
Terlena Tak Berdaya,
Di Antara Kesan Di Matamu
https://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2014/10/11/kesan-di/
Posted on
Duka, rasa takut merundung setiap hari,
Yang bodoh dilandanya,
Tak pernah yang arif,
Manusia tak pernah memiliki delapan sifat yang baik,
Penyakit, daya upaya, tamak dan sentuhan dengan benda-benda penyebab rasa nyeri,
Semua menjadi sebab penderitaan.
Ada obat penyembuh penyakit,
Dan kendali ketamakan,
Kata dan benda-benda manis menyelesaikan.
Bagaikan batang baja pijar dimasukkan dalam air,
Pikiran gelisah menikam dalam tubuh,
Air memadamkan api,
Pengetahuan menyejukkan pikiran,
Pikiran tenang,
Tubuhpun santai,
Hasratlah akar segala jadi,
Hasrat membiakkan cinta pada benda-benda duniawi,
Hasrat membiakkan rasa takut,
Laksana api kecil dimasukkan dalam tunggul,
Bergerak menyala,
Membakar akar.
Hasrat, betapa kecilpun,
Tumbuh melahap kebaikan,
Melarikan diri bukanlah menyangkal,
Tapi dialah yang menetap di dunia dengan pandangan jernih.
Hasrat bukanlah sahabat maupun harta,
Hasrat bahkan bukan dirimu sendiri.
Pengetahuan adalah pemadam hasrat terbesar,
Pengetahuan ialah daun mahkota teratai.
Ganaslah haus akan hasrat,
Bagai cacing di dalam hati,
Bagai batang kayu menyala menyantap diri,
Hasrat melalap jiwa,
Laksana hidup takutkan mati,
Kekayaan membikin raja, pencuri, air, api, dan kekerabatan,
Dilanda rasa takut.
Bagaikan umpan di udara dimakan oleh burung-burung,
Di tanah oleh hewan,
Di air oleh ikan.
Harta disantap oleh nasib,
Bagaikan kelekatu dimakan api,
Karena mencintai cahaya.
Manusia jatuh ke dalam godaan,
Digerakkan oleh hasrat,
Ia berputar bagaikan roda,
Tiada hentinya berputar,
Kelana dari penitisan ke penitisan,
Tak kenal diri sendiri,
Mencari diri sendiri.
Kini di dalam surga,
Suatu ketika di akar rerumputan,
Nanti di dalam air,
Lain kali di darat,
Kelak di udara.
Wns, 28 April 2011
https://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2014/10/05/hasrat/
Posted on
Hari keenam angin bertiup dari timur,
Bawa padma berkilauan,
Berdaun mahkota seribu,
Sangatlah harum baunya,
Lihatlah!
Bunga padma yang ajaib,
Pembawa segala keharuman,
Aku akan membawanya kepadamu,
Untuk menyenangkan hatimu.
Buru-buru ke utara,
Melawan angin,
Bagaikan singa marah,
Atau gajah tengah berahi,
Membawa busur bertahta emas dan anak panah naga,
Tanpa takut,
Tanpa kenal lelah,
Untuk satu tujuan saja.
Dengan mendaki,
Tiba di lereng-lereng terjal,
Kaya dengan tetumbuhan yang lebat,
Maju terus,
Telinga menangkap kicau lagu burung-burung jantan, gumam lebah,
Dikipasi wangi-wangian padma,
Lembut bagai belaian seorang ibu.
Menyapu lewat pohon tujuh daun,
Dengan mega menayang di sisi-sisinya,
Gunung-gunung menari,
Kalung-kalung mutiarapun bergoyang,
Anak sungai mendesir,
Jeram-jeram jatuh,
Baju tembus pandangpun terlepas.
Merak-merak berjalan pongah,
Dalam irama gelang kaki bidadari,
Dengan gembira, kembara di sela jaringan binatang melata,
Diawasi rusa yang tanpa takut memamah rumput,
Diawasi juga para yaksa, para gandarwa,
Duduk tak nampak bersama suami-suaminya di gunung,
Diberahikan tubuhnya yang keemasan.
Langkah bagaikan singa berjalan,
Matanya ganas,
Dan berpikir dalam hati,
Aku harus mendapatkan bunga-bunga itu,
Sebelum yang lain menyusul,
Berjalan makin cepat,
Bumi menggelegar,
Gajah-gajah ketakutan,
Menginjak-injak singa, rusa dan macan,
Membantun pepohonan dan mencampakkannya,
Binatang-binatang melata dibinasakan,
Mendaki gunung bagaikan kilat,
Dicabut batang pisang dan dibuangnya,
Selagi hewan-hewan melolong,
Dan burung-burung bersayap basah terbang naik turun,
Tinggi rendah menyentuh tanah.
Terlihat danau itu,
Danau bunga padma dan bunga bakung,
Dikitari batang-batang pisang bergoyang-goyang,
Terjun ke dalamnya,
Bermain dengan air, Melanjutkan perjalanan,
Meniup nafirinya,
Menepuk-nepuk,
Berteriak,
Gua-gua bergaung,
Singa mengaum,
Gajah menerompet dengan belalainya.
Di tempat melihat pohon jujube berbatang bulat,
Segar, rimbun dan menyehatkan,
Melengkung bagaikan raksasa,
Mengembang lebar,
Berkilauan,
Bergayutan dengan buah yang menitikkan madu yang sedap.
Wns, 28 April 2011
https://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2014/10/05/birahi/
Posted on
Tidak ada jeruji, tidak ada penjagaan yang berlebihan…Semuanya hamparan alami bagai di dunia bebas…Menghabiskan waktu menanam kembang, membersihkan rumah, seolah sedia kala belum terjadi…Di batas yang terlihat hanya samudera membentang…Di pulau kecil yang jauh dari sahabat, anak dan ibunya…Jauh dari permainan kegemaran, jauh dari Martell Cordon Bleu…Jauh dari penderitaan hidup yang diakibatkan hedonisnya kapitalime liberal…Di sinilah hidup akan diakhiri…Entah kapan itu akan terjadi…Hanya Dia dan Republik 1 yang berkonspirasi untuk menghilangkan nyawa…Di sinilah akan ditemukan kematian, dalam tutupan mata oleh kain hitam…Bunyi “dor” oleh sniper satu regu, jika berhasil memisahkan raga dengan jiwa…Atau oleh laras pendek sang kapten bila nyawa begitu kuat melekat dalam jasad…Di hadapan para kyai, para ahli hukum, mungkin juga di hadapan para ahli nujum…Darah akan mengalir ke bumi…Darah itu merah jenderal…Pada masanya dimandikan, diiringi dengan doa…Mungkin hanya jasad yang berdoa, semoga arwah diterima di sisiNya…Silsilah akan ditutup, gelar akan dianugerahkan…Almarhum…Pangkat tertinggi dalam penugasan hidup, dalam penciptaanNya atas mahluk…Selamat menikmati kawan, sahabat, abang, bapak, om, pakde…Teruntuk: EO di pulau Non Komersial…Terimakasih atas nama yang kau berikan padaku, FrcBy: Don Sagundo Agemos Garamoshttps://donsagundoagemosgaramos.wordpress.com/2014/09/29/dor/Posted on