Saturday, November 26, 2016

Becik Ketitik Ala Ketara


Becik artinya kebaikan, ketitik artinya ditengarai, ala artinya kejahatan / keburukan, dan ketara artinya ketahuan. Becik ketitik ala ketara, dengan demikian berarti, bahwa kebaikan itu akan selalu ditengarai, dan kejahatan itu akan selalu diketahui (meskipun) disembunyikan. Persoalannya, hanya waktunya.

Ajaran itu menamsilkan, bahwa kebaikan itu, akan selalu ditemukan, meskipun tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh kejahatan. Tidak jarang, justru kejahatan yang lebih tampak dan mengesankan menang. Namun, orang yang percaya dengan ajaran Jawa itu yakin, bahwa kebaikan akan muncul juga, mengalahkan kejahatan. Atau dengan perkataan lain, meskipun kebaikan (dan kebenaran) itu tersembunyi, akhirnya akan muncul juga, mengatasi kejahatan (kesalahan). Ajaran Jawa seperti itu, sebenarnya universal.

Bahwa menyembunyikan kebenaran / kebaikan dan menutupinya dengan kejahatan / kesalahan itu tidak mudah. Lama-lama, pasti akan ketahuan / terbuka, mana yang benar / mana yang salah, mana yang baik / mana yang jahat. Katakanlah kebaikan / kebenaran, di manapaun akan ditemukan. Sedangkan kejahatan / kesalahan, meskipun disembunyikan, akhirnya akan ketahuan juga. Di sinilah, bagi yang suka menyembunyikan / menutup-nutupi kejahatan, berlaku pepatah Indonesia, kurang lebih berbunyi: sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga.

Friday, November 25, 2016

Guru dalam pakaiannya.



Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberasilan pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang baik dari sosok seorang guru akan memberikan suri teladan yang baik terhadap anak didik yang berdampak pada perubahan masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut diGUgu, ditaati nasehat, ucapan, perintahnya dan ditiRU, di contoh sikap dan perilakunya. Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi kepentingan keberhasilan peserta didiknya.

Teladan adalah segala sesuatu yang terkait dengan perkataan, perbuatan, sikap dan prilaku seorang yang dapat di tiru atau di teladani oleh pihak lain. Sedangkan guru atau pendidik adalah pemimpin sejati, pembimbing dan pengarah yang bijak sana, pencetak para tokoh dan pemimpin. Keteladan guru yang baik adalah contoh yang baik dari guru yang berhubungan dengan sikap, perilaku, tutur kata, mental, maupun yang terkait dengan akhlak yang moral yang patut dijadikan contoh peserta didik.

Guru dalam pakaiannya.
Dalam pakaian seragam batik yang dipakai oleh guru, terkandung makna yang mendalam bahwa guru merupakan elemen penting dari bangsa ini untuk memajukan bangsa.

Gambar bunga bermakna bahwa guru sebagai pendidik yang baik akan menjadikan generasi penerus sebagai generasi yang akan mengharumkan Bangsa dan Negara.

Gambar rantai yang saling bersambungan adalah sebagai ikatan yang kuat dan saling mendukung bersatu padu untuk mencapai semua tujuan dengan baik dilandasi dengan kasih sayang dan ikatan kekeluargaan.

Gambar sawit merupakan simbol sayap yang akan membawa generasi penerus terus maju ke puncak teratas yang pada akhirnya tercapai satu kemajuan bagi bangsa dan negara.

Gambar 5 undakan melambangkan tingkat sekolah dari TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Dengan daun divisualisasikan sebagai pucuk artinya cikal bakal dari bunga yang akan menjadi buah dan membawa keharuman dan kesuksesan.

Gambar wijaya kusuma yang selalu mekar tanpa diketahui, begitu pun tugas mulia guru sosok “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” (Suci Ing Pamrih Rame Ing Gawe) yang sepantasnya dihargai dan dihormati oleh semua pihak karena guru adalah pelopor yang akan mencerdaskan tunas bangsa kearah yang lebih baik.

Gambar bintang dengan tangkai yang mengarah ke segala arah mangandung makna sebagai umat beragama yang sangat menjunjung tinggi ke-Tuhanan Yang Maha Esa dengan agama yang beragam dan tersebar diseluruh pelosok Indonesia.

Makna gambar hitam berupa ujung tombak adalah satu kesatuan yang bersatu dalam satu tujuan untuk mencerdaskan Bangsa Indonesia.

Gambar liris divisualisasikan sebagai akar bermakna dengan akar dan pondasi yang kuat akan menjadikan generasi penerus sebagai cikal bakal pemimpin yang kuat, kokoh, dan berkharisma yang akan membawa bangsa kearar kemajuan.

Dalam bayangan sederhana saya, guru adalah sosok manusia yang memberi tongkat pada si buta, memberi makan yang kelaparan dan kehausan akan ilmu, tempat berteduh bagi yang kehujanan, memberi busana bagi yang telanjang, sehingga mengerti malu.

Selamat Hari Guru, jadilah guru yang patut DIGUGU dan DITIRU.

Thursday, November 24, 2016

Tips Menghilangkan Tahi Lalat Di Wajah

Memiliki tahi lalat bisa jadi sebuah keuntungan atau bisa jadi suatu hal yang merugikan. Bagi beberapa orang memiliki tahi lalat dianggap sebagai penggangu penampilan karena letaknya yang terlalu sembarang dan bentuknya yang besar.

Salah satu bentuk tahi lalat yang paling menggangu penampilan seseorang adalah tahi lalat hidup yang bisa bertumbuh dan memiliki bentuk besar dan dilengkapi dengan bulu halus di sekitar atau di dalam tahi lalat.
Arti Tahi Lalat di Bibir Bawah

Bila ada orang yang memiliki tahi lalat di bibir bawah, maka dipercaya bahwa ia adalah orang yang baik hatinya, santun dalam perkataan dan perbuatannya.
Orang ini juga di sukai oleh banyak orang, mungkin karena sikapnya yang rendah hati dan baik kepada siapa saja.

Primbon menyebut, seseorang yang memiliki titik hitam dari sejak lahir (tahi lalat), di ujung mulut, bisa di sebelah kanan, atau pun sebelah kiri di percaya adalah orang yang sangat lihai dalam hal komunikasi. Ia adalah pembicara yang berbakat. Atau bahasa yang paling tepat untuk menyebutnya CEREWET?

Lantas bagaimana menghilangkannya? Berikut langkah-langkahnya:

Periksa tahi lalat anda berbulu atau tidak. Jika tahi lalat anda berbulu, maka terlebih dahulu buanglah bulu-bulunya, agar tidak mengganggu proses selanjutnya. Tapi jika memang anda menginginkan bulu-bulu itu ada, gunakanlah alat penumbuh bulu, agar bulu-bulu itu tumbuh lebih banyak, sehingga tahi lalat andapun tertutupi sudah.

Ulangi langkah tersebut di atas setiap pagi, hingga tahi lalat anda sudah tidak kelihatan lagi. Selamat mencoba. Jika sudah berhasil, maka sebutan bahwa anda CEREWET juga sudah berhasil dihilangkan. Jika tidak, maka anda akan tambah CEREWET.

Wednesday, November 23, 2016

Gegedhen Empyak Kurang Cagak


Pepatah Jawa gegedhen empyak kurang cagak, artinya adalah atap rumah yang terlalu besar sementara tiangnya kurang. Bila kita membuat atap yang ukurannya besar tapi jumlah tiang-tiangnya kurang, atap tetap bisa berdiri tapi lama kelamaan ambruk bila hujan lebat atau terkena angin kencang. Karena berat atap nggak mampu disangga oleh tiang-tiangnya. Pepatah di atas juga bisa diartikan seseorang yang ingin tampil mewah dan dianggap wah oleh lingkungan sekitarnya. Namun tidak didukung oleh kemampuan dirinya yang sebenarnya. Kemampuan itu bisa dalam bentuk keuangan, kesehatan atau pengetahuan.


Dalam bahasa Indonesia pepatah tersebut kurang lebih sama artinya dengan Besar Pasak daripada Tiang. Namun peribahasa tersebut lebih ditujukan pada seseorang yang memiliki pengeluaran lebih besar daripada pendapatan atau penghasilannya.

Monday, November 21, 2016

Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha.


Artinya: 

➤ Berjuang tanpa perlu membawa massa; 

➤ Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; 

➤ Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; 

➤ Kaya tanpa didasari kebendaan.



➤➤➤ Asalkan jangan, madang tanpa mbayar . . .



Saturday, November 19, 2016

Adigang, Adigung, Adiguna



Ungkapan adigang, adigung, adiguna sangat populer dalam masyarakat Jawa. Ungkapan ini berisi nasihat agar seseorang tidak berwatak angkuh atau sombong seperti watak binatang yang tersirat dalam ungkapan ini. Adigang adalah gambaran watak kijang yang menyombongkan kecepatan / kekuatan larinya. Adigung merupakan watak kesombongan binatang gajah yang karena besar tubuhnya selalu merasa menang dibandingkan hewan yang lainnya. Adiguna sebagai gambaran watak ular yang menyombongkan dirinya karena memiliki bisa / racun yang ganas dan mematikan.

Sebagai orang Jawa yang sangat mementingkan watak andhap asor atau lemah lembut (rendah hati), maka tidak selayaknya memiliki watak sombong dan angkuh tersebut. Dan sebagai manusia yang mengakui bahwa hidup memerlukan orang lain, maka seseorang harus menjauhi watak menyombongkan kekuatan, kebesaran tubuh, dan kewenangannya.

Tidak sepatutnya seseorang yang memiliki kekuatan / kemampuan fisik berwatak seperti sombongnya kijang, dan memanfaatkan kekuatan itu untuk merugikan orang lain. Demikian pula halnya dengan orang yang memiliki tubuh yang besar, tidak selayaknya meniru gambaran sombongnya gajah yang menggunakan kebesaran tubuhnya untuk memaksakan kehendak kepada yang kecil. Dan juga, tidak pada tempatnya seseorang yang memiliki kekuasaan sehingga ucapannya dijadikan panutan dan pedoman bagi orang lain, bawahan atau anak buah, bersikap menyombongkan diri sebagaimana watak sombong dari binatang ular, yang bisa / racunnya dapat mencelakai orang lain.


Ungkapan adigang, adigung, adiguna merupakan peringatan kepada siapapun yang memiliki kelebihan (kekuatan, kedudukan atau kekuasaan) agar tidak bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain, terutama terhadap orang kecil. Sebagai orang yang memiliki kekuatan, kedudukan, dan kekuasaan, ia seharusnya memahami bahwa semua hal tersebut adalah amanat yang harus diperankan dengan baik dan dijalankan seadil-adilnya. Kedudukan yang semakin tinggi, keluasan ilmu, dan kekuasaan yang semakin besar janganlah menjadikan kita semakin sombong di hadapan orang lain. Seseorang harus selalu menyadari bahwa kekuatan yang dimiliki, kedudukan yang dicapai, kekuasaan yang melekat pada dirinya sekedar pinjaman dimana yang meminjamkan semua itu tidak lain adalah masyarakat dan Tuhan.

Jika semua yang melekat pada diri kita telah diminta kembali oleh Yang Memberi Pinjaman (yakni masyarakat dan Tuhan), maka status kita akan kembali menjadi manusia biasa.

Friday, November 18, 2016

Aja Rumangsa Bisa, Ananging Bisa Rumangsani



Ungkapan aja rumangsa bisa, ananging bisa rumangsa (jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa) memiliki makna yang sangat strategis dan mendalam. Ungkapan ini bernada nasihat agar seseorang tumbuh menjadi sosok yang rendah hati, sebaliknya tidak tumbuh menjadi sosok yang tinggi hati atau somboong. Dalam kehidupan masyarakat Jawa tradisional, banyak ditemukan unen-unen atau wewarah (nasihat) agar seseorang tetap dalam koridor pribadi yang lembah manah (rendah hati, dan rendah hati tidak berarti rendah diri) dan sebaliknya kita mengangggap rendah pihak lain. Dalam ajaran Jawa, seseorang lebih ditekankan untuk dapat melakukan koreksi ke dalam sehingga tidak terdorong untuk “menghujat” atau “merendahkan” orang lain.
Dalam berbagai kesempatan, seseorang harus tetap bersikap untuk menahan diri dan tidak terdorong untuk menonjolkan dirinya sendiri (tidak dibenarkan untuk bersikap unjuk gigi). Terlebih lagi, dalam tatanan sosial-kemasyarakatan Jawa, tidak pada tempatnya seseorang melakukan tindakan yang dapat merendahkan atau memojokkan pihak lain. Pendek kata, sangat tidak etis jika seseorang mempermalukan orang lain di hadapan umum atau di hadapan publik, baik melalui ucapan maupun tindakan.
Tampaknya ungkapan aja rumangsa bisa, ananging bisa rumangsani semakin jauh dari pergaulan dewasa ini. Era keterbukaan dan demokrasi yang melanda masyarakat dari kota metropolitan hingga pelosok desa telah mengubah cara berpikir masyarakat, termasuk masyarakat Jawa, sehingga muncul arogansi yang ujung-ujungnya memunculkan tindakan saling melemahkan atau memojokkan satu dengan yang lain, baik pada bidang sosial, ekonomi, politik, maupun hukum. Salah satu buktinya, pergantian pimpinan pemerintahan (mulai dari presiden, gubernur, hingga lurah di pedesaan) lebih sering diawali dengan dorongan untuk saling menjatuhkan (istilah Jawanya me­-­lengser-kan) melalui tindakan “mengkritik”, “menghujat”, dan sebagainya. Situasi saling menjatuhkan tersebut diperparah dengan lahirnya budaya kritik yang disampaikan secara tidak berbudaya atau kritik yang didasarkan pada rasa pamrih atau meri (pamrih atau iri hati), bukan kritik konstruktif (kritik membangun) yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan bangsa. Kondisi itu semakin menjauhkan masyarakat dari cara berpikir Jawa yang bersifat sinamudana (memakai simbol-simbol) berupa ucapan, gerak-gerik tubuh dan lain lain atau tidak langsung dan berubah kepada cara berpikir yang transparan atau melok (langsung).

Dalam hubungan seperti ini banyak orang terjebak pada perilaku rumangsa bisa (merasa bisa atau mampu) yang mengakibatkan orang tersebut menilai rendah (bodoh, tidak cakap dan sejumlah penilaian negatif lainnya) terhadap pihak lain. Banyak lurah desa yang didemo dan dijatuhkan karena dinilai tidak mampu menjalankan kewajibannya. Akan tetapi, anehnya pengganti mereka yang berasal dari pihak yang semula menghujat pejabat yang di-lengser­-kan itu juga tidak mampu mengemban amanat memegang jabatan yang digantikannya. Bahkan, justru kebobrokan yang lebih parah terjadi pada saat pemimpin itu memegang jabatan tertentu. Kondisi ini mencerminkan bahwa orang-orang yang semula mengkritik atau menghujat itu memiliki watak rumangsa bisa (merasa bisa) tetapi sesungguhnya mereka itu terbukti ora bisa (tidak bisa). Mereka sama sekali tidak memiliki sikap bisa rumangsani (bisa merasa) yang hakekatnya adalah sikap koreksi pada kemampuan diri sendiri sehingga dapat mendorong seseorang berperilaku arif dan bijaksana (tidak hanya pandai “mencela” atau “menghujat” orang lain karena menyadari bahwa dirinya juga memiliki banyak keterbatasan).

Sikap bisa rumangsa akan membawa pengaruh positif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pertama, bagi diri sendiri, ia tidak terjerumus pada euforia, budaya suka mencela yang sebenarnya dirinya memiliki pamrih pribadi, pamrih kelompok, atau pamrih golongan. Kedua, ia selalu terdorong untuk selalu berbuat yang melegakan atau meng-enak-kan hati dan tenteram bagi pergaulan sosial.