Ungkapan aja rumangsa bisa, ananging bisa rumangsa (jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa) memiliki makna yang sangat strategis dan mendalam. Ungkapan ini bernada nasihat agar seseorang tumbuh menjadi sosok yang rendah hati, sebaliknya tidak tumbuh menjadi sosok yang tinggi hati atau somboong. Dalam kehidupan masyarakat Jawa tradisional, banyak ditemukan unen-unen atau wewarah (nasihat) agar seseorang tetap dalam koridor pribadi yang lembah manah (rendah hati, dan rendah hati tidak berarti rendah diri) dan sebaliknya kita mengangggap rendah pihak lain. Dalam ajaran Jawa, seseorang lebih ditekankan untuk dapat melakukan koreksi ke dalam sehingga tidak terdorong untuk “menghujat” atau “merendahkan” orang lain.
Dalam berbagai kesempatan, seseorang
harus tetap bersikap untuk menahan diri dan tidak terdorong untuk menonjolkan
dirinya sendiri (tidak dibenarkan untuk bersikap unjuk gigi). Terlebih lagi,
dalam tatanan sosial-kemasyarakatan Jawa, tidak pada tempatnya seseorang
melakukan tindakan yang dapat merendahkan atau memojokkan pihak lain. Pendek
kata, sangat tidak etis jika seseorang mempermalukan orang lain di hadapan umum
atau di hadapan publik, baik melalui ucapan maupun tindakan.
Tampaknya ungkapan aja rumangsa
bisa, ananging bisa rumangsani semakin jauh dari pergaulan dewasa ini. Era
keterbukaan dan demokrasi yang melanda masyarakat dari kota metropolitan hingga
pelosok desa telah mengubah cara berpikir masyarakat, termasuk masyarakat Jawa,
sehingga muncul arogansi yang ujung-ujungnya memunculkan tindakan saling
melemahkan atau memojokkan satu dengan yang lain, baik pada bidang sosial,
ekonomi, politik, maupun hukum. Salah satu buktinya, pergantian pimpinan
pemerintahan (mulai dari presiden, gubernur, hingga lurah di pedesaan) lebih
sering diawali dengan dorongan untuk saling menjatuhkan (istilah Jawanya me-lengser-kan)
melalui tindakan “mengkritik”, “menghujat”, dan sebagainya. Situasi saling
menjatuhkan tersebut diperparah dengan lahirnya budaya kritik yang disampaikan
secara tidak berbudaya atau kritik yang didasarkan pada rasa pamrih atau
meri (pamrih atau iri hati), bukan kritik konstruktif (kritik membangun)
yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan bangsa. Kondisi itu semakin
menjauhkan masyarakat dari cara berpikir Jawa yang bersifat sinamudana
(memakai simbol-simbol) berupa ucapan, gerak-gerik tubuh dan lain lain atau
tidak langsung dan berubah kepada cara berpikir yang transparan atau melok
(langsung).
Dalam hubungan seperti ini banyak
orang terjebak pada perilaku rumangsa bisa (merasa bisa atau mampu) yang
mengakibatkan orang tersebut menilai rendah (bodoh, tidak cakap dan sejumlah
penilaian negatif lainnya) terhadap pihak lain. Banyak lurah desa yang didemo
dan dijatuhkan karena dinilai tidak mampu menjalankan kewajibannya. Akan
tetapi, anehnya pengganti mereka yang berasal dari pihak yang semula menghujat
pejabat yang di-lengser-kan itu juga tidak mampu mengemban amanat
memegang jabatan yang digantikannya. Bahkan, justru kebobrokan yang lebih parah
terjadi pada saat pemimpin itu memegang jabatan tertentu. Kondisi ini
mencerminkan bahwa orang-orang yang semula mengkritik atau menghujat itu memiliki
watak rumangsa bisa (merasa bisa) tetapi sesungguhnya mereka itu
terbukti ora bisa (tidak bisa). Mereka sama sekali tidak memiliki sikap bisa
rumangsani (bisa merasa) yang hakekatnya adalah sikap koreksi pada
kemampuan diri sendiri sehingga dapat mendorong seseorang berperilaku arif dan
bijaksana (tidak hanya pandai “mencela” atau “menghujat” orang lain karena
menyadari bahwa dirinya juga memiliki banyak keterbatasan).
Sikap bisa rumangsa akan
membawa pengaruh positif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Pertama, bagi diri sendiri, ia tidak terjerumus pada euforia, budaya
suka mencela yang sebenarnya dirinya memiliki pamrih pribadi, pamrih
kelompok, atau pamrih golongan. Kedua, ia selalu terdorong untuk selalu
berbuat yang melegakan atau meng-enak-kan hati dan tenteram bagi pergaulan
sosial.
No comments:
Post a Comment