Memiliki tahi lalat bisa jadi sebuah keuntungan atau bisa jadi suatu hal yang merugikan. Bagi beberapa orang memiliki tahi lalat dianggap sebagai penggangu penampilan karena letaknya yang terlalu sembarang dan bentuknya yang besar.
Salah satu bentuk tahi lalat yang paling menggangu penampilan seseorang adalah tahi lalat hidup yang bisa bertumbuh dan memiliki bentuk besar dan dilengkapi dengan bulu halus di sekitar atau di dalam tahi lalat.
Arti Tahi Lalat di Bibir Bawah
Bila ada orang yang memiliki tahi lalat di bibir bawah, maka dipercaya bahwa ia adalah orang yang baik hatinya, santun dalam perkataan dan perbuatannya.
Orang ini juga di sukai oleh banyak orang, mungkin karena sikapnya yang rendah hati dan baik kepada siapa saja.
Primbon menyebut, seseorang yang memiliki titik hitam dari sejak lahir (tahi lalat), di ujung mulut, bisa di sebelah kanan, atau pun sebelah kiri di percaya adalah orang yang sangat lihai dalam hal komunikasi. Ia adalah pembicara yang berbakat. Atau bahasa yang paling tepat untuk menyebutnya CEREWET?
Lantas bagaimana menghilangkannya? Berikut langkah-langkahnya:
Periksa tahi lalat anda berbulu atau tidak. Jika tahi lalat anda berbulu, maka terlebih dahulu buanglah bulu-bulunya, agar tidak mengganggu proses selanjutnya. Tapi jika memang anda menginginkan bulu-bulu itu ada, gunakanlah alat penumbuh bulu, agar bulu-bulu itu tumbuh lebih banyak, sehingga tahi lalat andapun tertutupi sudah.
Ulangi langkah tersebut di atas setiap pagi, hingga tahi lalat anda sudah tidak kelihatan lagi. Selamat mencoba. Jika sudah berhasil, maka sebutan bahwa anda CEREWET juga sudah berhasil dihilangkan. Jika tidak, maka anda akan tambah CEREWET.
Blog ini berisi koleksi lagu, tulisan dan apa saja yang pantas dishare. No SARA.
Thursday, November 24, 2016
Wednesday, November 23, 2016
Gegedhen Empyak Kurang Cagak
Pepatah Jawa gegedhen empyak kurang cagak, artinya adalah atap rumah yang terlalu besar sementara tiangnya kurang. Bila kita membuat atap yang ukurannya besar tapi jumlah tiang-tiangnya kurang, atap tetap bisa berdiri tapi lama kelamaan ambruk bila hujan lebat atau terkena angin kencang. Karena berat atap nggak mampu disangga oleh tiang-tiangnya. Pepatah di atas juga bisa diartikan seseorang yang ingin tampil mewah dan dianggap wah oleh lingkungan sekitarnya. Namun tidak didukung oleh kemampuan dirinya yang sebenarnya. Kemampuan itu bisa dalam bentuk keuangan, kesehatan atau pengetahuan.
Monday, November 21, 2016
Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha.
Artinya:
➤ Berjuang tanpa perlu membawa massa;
➤ Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan;
➤ Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan;
➤ Kaya tanpa didasari kebendaan.
➤➤➤ Asalkan jangan, madang tanpa mbayar . . .
Saturday, November 19, 2016
Adigang, Adigung, Adiguna
Ungkapan adigang,
adigung, adiguna sangat populer dalam masyarakat Jawa. Ungkapan
ini berisi nasihat agar seseorang tidak berwatak angkuh atau sombong seperti
watak binatang yang tersirat dalam ungkapan ini. Adigang adalah gambaran watak
kijang yang menyombongkan kecepatan / kekuatan larinya. Adigung merupakan watak
kesombongan binatang gajah yang karena besar tubuhnya selalu merasa menang
dibandingkan hewan yang lainnya. Adiguna sebagai gambaran watak ular yang
menyombongkan dirinya karena memiliki bisa / racun yang ganas dan mematikan.
Sebagai orang Jawa yang sangat mementingkan watak andhap asor atau lemah lembut (rendah hati), maka tidak selayaknya memiliki watak sombong dan angkuh tersebut. Dan sebagai manusia yang mengakui bahwa hidup memerlukan orang lain, maka seseorang harus menjauhi watak menyombongkan kekuatan, kebesaran tubuh, dan kewenangannya.
Tidak sepatutnya seseorang yang memiliki kekuatan / kemampuan fisik berwatak seperti sombongnya kijang, dan memanfaatkan kekuatan itu untuk merugikan orang lain. Demikian pula halnya dengan orang yang memiliki tubuh yang besar, tidak selayaknya meniru gambaran sombongnya gajah yang menggunakan kebesaran tubuhnya untuk memaksakan kehendak kepada yang kecil. Dan juga, tidak pada tempatnya seseorang yang memiliki kekuasaan sehingga ucapannya dijadikan panutan dan pedoman bagi orang lain, bawahan atau anak buah, bersikap menyombongkan diri sebagaimana watak sombong dari binatang ular, yang bisa / racunnya dapat mencelakai orang lain.
Sebagai orang Jawa yang sangat mementingkan watak andhap asor atau lemah lembut (rendah hati), maka tidak selayaknya memiliki watak sombong dan angkuh tersebut. Dan sebagai manusia yang mengakui bahwa hidup memerlukan orang lain, maka seseorang harus menjauhi watak menyombongkan kekuatan, kebesaran tubuh, dan kewenangannya.
Tidak sepatutnya seseorang yang memiliki kekuatan / kemampuan fisik berwatak seperti sombongnya kijang, dan memanfaatkan kekuatan itu untuk merugikan orang lain. Demikian pula halnya dengan orang yang memiliki tubuh yang besar, tidak selayaknya meniru gambaran sombongnya gajah yang menggunakan kebesaran tubuhnya untuk memaksakan kehendak kepada yang kecil. Dan juga, tidak pada tempatnya seseorang yang memiliki kekuasaan sehingga ucapannya dijadikan panutan dan pedoman bagi orang lain, bawahan atau anak buah, bersikap menyombongkan diri sebagaimana watak sombong dari binatang ular, yang bisa / racunnya dapat mencelakai orang lain.
Ungkapan adigang, adigung, adiguna merupakan peringatan kepada siapapun yang memiliki kelebihan (kekuatan, kedudukan atau kekuasaan) agar tidak bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain, terutama terhadap orang kecil. Sebagai orang yang memiliki kekuatan, kedudukan, dan kekuasaan, ia seharusnya memahami bahwa semua hal tersebut adalah amanat yang harus diperankan dengan baik dan dijalankan seadil-adilnya. Kedudukan yang semakin tinggi, keluasan ilmu, dan kekuasaan yang semakin besar janganlah menjadikan kita semakin sombong di hadapan orang lain. Seseorang harus selalu menyadari bahwa kekuatan yang dimiliki, kedudukan yang dicapai, kekuasaan yang melekat pada dirinya sekedar pinjaman dimana yang meminjamkan semua itu tidak lain adalah masyarakat dan Tuhan.
Jika semua
yang melekat pada diri kita telah diminta kembali oleh Yang Memberi Pinjaman
(yakni masyarakat dan Tuhan), maka status kita akan kembali menjadi manusia
biasa.
Friday, November 18, 2016
Aja Rumangsa Bisa, Ananging Bisa Rumangsani
Ungkapan aja rumangsa bisa, ananging bisa rumangsa (jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa) memiliki makna yang sangat strategis dan mendalam. Ungkapan ini bernada nasihat agar seseorang tumbuh menjadi sosok yang rendah hati, sebaliknya tidak tumbuh menjadi sosok yang tinggi hati atau somboong. Dalam kehidupan masyarakat Jawa tradisional, banyak ditemukan unen-unen atau wewarah (nasihat) agar seseorang tetap dalam koridor pribadi yang lembah manah (rendah hati, dan rendah hati tidak berarti rendah diri) dan sebaliknya kita mengangggap rendah pihak lain. Dalam ajaran Jawa, seseorang lebih ditekankan untuk dapat melakukan koreksi ke dalam sehingga tidak terdorong untuk “menghujat” atau “merendahkan” orang lain.
Dalam berbagai kesempatan, seseorang
harus tetap bersikap untuk menahan diri dan tidak terdorong untuk menonjolkan
dirinya sendiri (tidak dibenarkan untuk bersikap unjuk gigi). Terlebih lagi,
dalam tatanan sosial-kemasyarakatan Jawa, tidak pada tempatnya seseorang
melakukan tindakan yang dapat merendahkan atau memojokkan pihak lain. Pendek
kata, sangat tidak etis jika seseorang mempermalukan orang lain di hadapan umum
atau di hadapan publik, baik melalui ucapan maupun tindakan.
Tampaknya ungkapan aja rumangsa
bisa, ananging bisa rumangsani semakin jauh dari pergaulan dewasa ini. Era
keterbukaan dan demokrasi yang melanda masyarakat dari kota metropolitan hingga
pelosok desa telah mengubah cara berpikir masyarakat, termasuk masyarakat Jawa,
sehingga muncul arogansi yang ujung-ujungnya memunculkan tindakan saling
melemahkan atau memojokkan satu dengan yang lain, baik pada bidang sosial,
ekonomi, politik, maupun hukum. Salah satu buktinya, pergantian pimpinan
pemerintahan (mulai dari presiden, gubernur, hingga lurah di pedesaan) lebih
sering diawali dengan dorongan untuk saling menjatuhkan (istilah Jawanya me-lengser-kan)
melalui tindakan “mengkritik”, “menghujat”, dan sebagainya. Situasi saling
menjatuhkan tersebut diperparah dengan lahirnya budaya kritik yang disampaikan
secara tidak berbudaya atau kritik yang didasarkan pada rasa pamrih atau
meri (pamrih atau iri hati), bukan kritik konstruktif (kritik membangun)
yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan bangsa. Kondisi itu semakin
menjauhkan masyarakat dari cara berpikir Jawa yang bersifat sinamudana
(memakai simbol-simbol) berupa ucapan, gerak-gerik tubuh dan lain lain atau
tidak langsung dan berubah kepada cara berpikir yang transparan atau melok
(langsung).
Dalam hubungan seperti ini banyak
orang terjebak pada perilaku rumangsa bisa (merasa bisa atau mampu) yang
mengakibatkan orang tersebut menilai rendah (bodoh, tidak cakap dan sejumlah
penilaian negatif lainnya) terhadap pihak lain. Banyak lurah desa yang didemo
dan dijatuhkan karena dinilai tidak mampu menjalankan kewajibannya. Akan
tetapi, anehnya pengganti mereka yang berasal dari pihak yang semula menghujat
pejabat yang di-lengser-kan itu juga tidak mampu mengemban amanat
memegang jabatan yang digantikannya. Bahkan, justru kebobrokan yang lebih parah
terjadi pada saat pemimpin itu memegang jabatan tertentu. Kondisi ini
mencerminkan bahwa orang-orang yang semula mengkritik atau menghujat itu memiliki
watak rumangsa bisa (merasa bisa) tetapi sesungguhnya mereka itu
terbukti ora bisa (tidak bisa). Mereka sama sekali tidak memiliki sikap bisa
rumangsani (bisa merasa) yang hakekatnya adalah sikap koreksi pada
kemampuan diri sendiri sehingga dapat mendorong seseorang berperilaku arif dan
bijaksana (tidak hanya pandai “mencela” atau “menghujat” orang lain karena
menyadari bahwa dirinya juga memiliki banyak keterbatasan).
Sikap bisa rumangsa akan
membawa pengaruh positif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Pertama, bagi diri sendiri, ia tidak terjerumus pada euforia, budaya
suka mencela yang sebenarnya dirinya memiliki pamrih pribadi, pamrih
kelompok, atau pamrih golongan. Kedua, ia selalu terdorong untuk selalu
berbuat yang melegakan atau meng-enak-kan hati dan tenteram bagi pergaulan
sosial.
Friday, February 12, 2016
Roma dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Roma adalah ibu kota
Italia,
ibu kota Provinsi Roma dan juga ibu kota daerah Lazio.
Kota ini terletak di hilir sungai Tiber, dekat Laut Tengah.
Roma merupakan kota yang menakjubkan
membawa visi misteri, asmara, dan sejarah. Tidak peduli dari mana Anda melihat,
Anda akan mendengar atau membaca tentang kejadian yang unik dan menarik dari
Roma.
Sejarah kota ini sangat panjang, kota ini pernah menjadi pusat Kerajaan Romawi, Republik Romawi dan Kekaisaran Romawi, dan belakangan negara Kepausan, Kerajaan Italia, dan kini Republik Italia. Hingga kota ini dikenal dengan julukan “Kota Abadi” karena usianya yang hampir mencapai 3000 tahun.
Dalam mitologi Romawi, kota Roma diyakini didirikan oleh saudara kembar Romulus dan Remus, yang lahir dari pasangan dewa perang, Mars dan Perawan Vestal, Rhea Silvia. Setelah lahir, kedua anak ini dikisahkan terombang-ambing di Sungai Tiber dan ditemukan oleh seekor serigala betina. Alih-alih menjadikannya santapan, serigala betina memutuskan untuk merawat Romulus dan Remus. Keduanya lantas ditemukan oleh seorang gembala bernama Faustulus dan mengasuhnya hingga dewasa. Di kemudian hari, kedua saudara kembar ini mampu menggulingkan raja sebuah kota di Italia bernama Alba Longa. Setelah berkuasa keduanya lantas mendirikan kota Roma.
Ketenaran kota Roma ini hingga meggugah Idrus, sastrawan, tokoh reformasi prosa dan puisi, jaman perang kemerdekaan untuk membuat sebuah kisah dalam bukunya yang terkenal itu. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, kita dapat melihat semacam evolusi Idrus dari gaya romantik ke gaya khas satir tragikomiknya yang belum banyak dianut saat itu. Ringkas, lincah, dan lugas, dan mampu menjungkirbalikkan kesakralan heroisme revolusi.
Dalam satu bagiannya Corat-Coret di Bawah Tanah, di bawah judul yang sedikit mengingatkan kita pada Notes from the Underground Dostoyevsky, kita menemukan cerita-cerita tajam realistis humoris, menggelitik, acuh, selalu tajam, apa yang disebut Jassin sebagai sikap jiwa masa bodoh terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggap besar di masa itu, juga oleh disebut Jassin sebagai kesederhanaan baru.
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Thursday, February 11, 2016
Pembelaan diri sang jenggot
Mengapa pula orang sibuk untuk membicarakan sekedar jenggot?
Coba bayangkan, orang-orang suci di masa silam gemar berjenggot panjang, tetapi
mengapa pengikutnya malah memandang rendah orang yang berjenggot?
Seandainya saja kami bangsa jenggot bisa memilih, kami akan
memilih tumbuh di dagu-dagu orang beken, anggota dewan yang lagi ngetop akibat
ingin membubarkan DPD, atau pejabat-pejabat yang ongkang-ongkang di kantor,
atau pengusaha-pengusaha yang mabuk anggur yang ditumpahkan di selangkangan
gula-gula mereka.
Atau bahkan kami akan memilih untuk tumbuh dan menikmati tumbuh di dagu wanita-wanita cantik itu. sehingga lebih terurus tata letak, distribusi, dan dominasinya.
Setidaknya dengan memilih di sana, kami bisa menikmati
kemewahan-kemewahan anggota dewan, menikmati segarnya ruangan-ruangan dengan
tata udara ruang mewah, atau saja bisa menonton film-film biru gratis, limited
edition, tauke-tauke di jet-jet pribadi mereka.
Sekarang katakan kepadaku, apakah kau ingin membunuhku?
Aku lebih kenal kau, bahkan sebelum kau lahir dari rahim
ibumu. Aku juga tumbuh di sana, di rahim ibumu. Lalu aku ikut lahir, lalu akan
ikut ke alam kubur, dan ikut dibangkitkan. Ikut ke surga jika kelak kau ke
surga, ke neraka, jika akhirnya demikian.
Lalu sekarang, apa masalahmu denganku?
Yk, 11 Feb 2016 Masehi
The day of 4.541 after married, 15.148 after born.
Subscribe to:
Posts (Atom)