Seorang nenek menguping pembicaraan remaja yg lagi pacaran di taman.
Ce : “Kamu cinta tidak sama aku? ”
Co : “Cinta donk…”
Ce : “Kita telah pacaran 4 bln , apa buktinya? ”
Co : “ABCDEFG”
Ce : “Apa tuh? ”
Co : “A Boy Can Do Everything For Girl…”
Ce : “So sweet..."
Lalu... Si nenek iri & kesal, Lantaran telah nikah 40 th tidak pernah
dpt rayuan seperti itu.
Sang nenek segera pulang & bertanya pada si kakek...
N : “kek, kakek cinta gak sama aku? ”
K : “Iya lah…”
N : “Buktinya apa? ”
K : “Buktinya kita tlah bersama selama 40 thn toh…”
Nenek ngotot : "Kakek, aku mau jawaban yang ABCDEFG"
K : “Ooo ....,untuk kamu ABCDEFGHIJK. ”
Nenek happy, yg pacaran 4 bln. hanya A s/d G… dan dia A s/d K..
Nenek senyum-senyum : “Apa tuch ABCDEFGHIJK? ”
K : “Kamu itu: Amazing, Beautiful, Cute, Dynamic, Elegant, Fantastic, Good,
Hightech…”
Nenek senang banget, dan bertanya lagi: “Yang IJK nya apa? ”
K : “I’m Just Kidding”
Alkisah, di negeri dongeng, tersebutlah seorang guru
nan bijaksana bernama Resi Kasyapa. Resi ini memiliki dua orang istri yang
bernama Kadru dan Winata. Masing-masing dikaruniai anak-anak berupa Naga dan
Garuda. Meskipun sang resi sangat bijaksana dan bersikap adil terhadap kedua
istrinya, namun Kadru senantiasa merasa cemburu terhadap Winata. Maka dalam
setiap kesempatan ia senantiasa ingin menyingkirkan Winata dari perhatian dan
lingkaran keluarga. Segala tabiat dan niat jahat seringkali dijalankan untuk
menjauhkan Winata dari suami mereka.
Pada suatu ketika, para dewa mengaduk samudra purba
dengan air suci amertha sari, air suci yang membawa keabadian bagi siapapun
makhluk yang meminumnya. Bersamaan dengan peristiwa itu muncullah kuda yang
bernama Ucaihsrawa. Didorong oleh rasa kecemburuan yang telah menahun, Kadru
menantang Winata untuk bertaruh mengenai warna kuda Ucaihsrawa. Barang siapa
yang kalah dalam pertaruhan tersebut, maka ia harus menjadi budak seumur hidup
yang harus taat dan patuh terhadap apapun kehendak dan perintah sang pemenang.
Dalam taruhan, Kadru bertaruh Ucaihsrawa berwarna hitam. Sedangkan Winata
memilih warna putih.
Para Naga tahu bahwa kuda Ucaihsrawa sebenarnyalah
berwarna putih. Mereka kemudian melaporkan hal tersebut kepada Kadru, ibunda
mereka. Atas pelaporan para Naga, putranya, Kadru secara licik memerintahkan
para Naga untuk menyemburkan bisa mereka ke tubuh kuda putih agar nampak
seperti kuda hitam. Pada saat Ucaihsrawa tiba di hadapan Kadru dan Winata,
nampaklah kuda yang dipertaruhkan berwarna hitam, bukan putih sebagaimana
aslinya. Singkat cerita, Winata harus menjadi budak dan melayani segala
perintah Kadru seumur hidupnya yang tersisa.
Sebagai anak yang sangat berbakti kepada ibundanya,
Garuda merasa sangat marah atas kelicikan para Naga yang telah membuat
kebohongan besar atas diri Winata. Dengan kemarahan meluap, diseranglah para
Naga. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat di atas langit, antara Garuda
dan para Naga. Dikarenakan kekuatan dan kesaktian di antara kedua kubu sama dan
seimbang, maka perang itupun berlangsung sepanjang saat sebagai simbol
keabadian pertempuran antara nilai kebaikan dan kebatilan.
Karena pertempuran berlangsung sekian lama panjangnya,
para Naga bersedia memberikan pengampunan atas perbudakan terhadap Winata
asalkan Garuda mampu memberikan tirta suci amertha sari yang dapat memberikan
keabadian hidup mereka dan ibunya. Akhirnya sang Garuda menyanggupi apapun yang
harus ia lakukan asalkan ia dapat membebaskan ibundanya. Dalam pengembaraan pencarian tirta suci amertha sari,
Garuda berjumpa dengan Dewa Wisnu. Ketika dimintakan air suci tersebut, Wisnu
mempersyaratkan akan memberikan air tersebut, asalkan sang Garuda menyanggupi
diri untuk menjadi tunggangan bagi Dewa Wisnu. Garuda selanjutnya mendapatkan
tirta suci amertha sari yang ditempatkannya dalam wadah kamandalu bertali
rumput ilalang.
Dengan air suci mertha sari, para Naga berniat mandi
untuk segera mendapatkan keabadian hidup. Bersamaan dengan itu, Dewa Indra yang
kebetulan melintas mengambil alih air suci. Dari wadah Kamandalu, tersisalah
percikan air pada sisa tali ilalang. Tanpa berpikir panjang, percikan air pada
ilalang tersebut dijilati oleh para Naga. Tali ilalang sangatlah tajam bagaikan
sebuah mata pisau. Tatkala menjilati ilalang tersebut, terbelahlah lidah para
Naga menjadi dua bagian. Inilah asal-usul kenapa seluruh keluarga besar Naga
dan semua keturunannya memiliki lidah bercabang. Kegigihan Garuda dalam membebaskan ibunda tercintanya
dari belenggu perbudakan yang tidak mengenal rasa peri kemanusiaan inilah yang
kemudian oleh para foundingfathers kita diadopsi secara filosofis dan
disimbolisasikan dalam lambang negara kita. Garuda bermakna sebagai simbol
pembebasan ibu pertiwi dari belenggu perbudakan dan penjajahan. Dengan lambang
Garuda yang gagah perkasa, para pendahulu berharap Indonesia akan menjadi
bangsa besar yang bebas dalam menentukan nasib dan masa depannya sendiri.
Unsur kesejarahan Garuda Wisnu Kencana ini mengilhami
akan dibangunnya patung raksasa Garuda Wisnu Kencana di ujung selatan Pulau
Dewata. Dengan rencana ketinggian patung sekitar 120 meter, patung tersebut
kelak akan menjadi patung landmark tertinggi di dunia. Garuda Wisnu Kencana
merupakan ikon dan landmark Pulau Bali, bahkan sudah tentu landmark bagi
Indonesia. Megaproyek yang sudah dimulai di akhir masa Orde Baru ini hingga
kini masih tersendat pembangunannya. Dari keseluruhan tubuh Garuda Wisnu
Kencana baru beberapa bagian yang selesai terakit, diantaranya kepala Wisnu,
kepala Garuda dan bagian tangan Wisnu.
Entah sampai kapan perwujudan landmark Garuda Wisnu
Kencana itu dapat terwujud menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga menampilkan
kegagahan lambang negara kita yang bisa mengilhami anak bangsa untuk lebih
mencintai tanah ibu pertiwinya? Biarlah waktu yang angkat bicara.
Garuda dalam cerita pewayangan
Di dalam babad, sejarah atau cerita-cerita kuno
negara-negara mandiri di Indonesia, sepertinya belum pernah ada yang menyebut
lambang burung Garuda, yang kita warisi dari sejarah kuno sekarang hanya sang "Dwi Warna", yang pada waktu itu di
sebut "Bendera Gulo Klopo"(jawa),
atau sekarang di sebut Sang Saka Merah Putih.
Dalam cerita pewayangan Ramayana juga disebutkan
adanya burung Garuda, Jatayu. Jatayu adalah sosok burung satria yang gugur
dalam peperangan melawan Rahwanaraja dalam upaya merebut dewi Shinta. Sedangkan
Rahwanaraja adalah sosok raksasa yang berkepala sepuluh atau disebut juga
Dasamuka.
Mistery Burung Garuda
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah di
Indonesia ada burung garuda?
Kalau burung Garuda yang besarnya sebesar burung elang
sudah pasti di Indonesia masih banyak walaupun sekarang jumlahnya agak
berkurang.
Mungkin banyak orang yang tidak percaya, kalau di
Indonesia dulu benar dan nyata adanya burung Garuda raksasa seperti yang di
ceritakan dalam cerita pewayangan, bukan dongeng tapi nyata, tercatat dalam
buku harian salah satu nahkoda Portugis pada awal abad XVI di sekitar lautan
Indonesia. Catatan harian nahkoda portugis tersebut pernah di ceritakan di
terbitan berkala "Marcopolo" yang di keluarkan oleh kedutaan Besar
Italia di Jakarta antara tahun 1950-1960 yang berbentuk buku dengan sampul
karton. Buku dengan tebal 70 - 100 halaman tersebut tidak hanya menceritakan
tentang burung Garuda tapi juga serat Niti Sruti dan Paniti Sastra, cerita
tentang para saudagar dan nahkoda Portugis (terbagi dalam 3 seri).
Sumber cerita yang tercatat dalam buku harian nahkoda
partugis tersebut adalah kisah penyelamatan seorang anak dari Sulawesi yang
terdampar di pulau Karimunjawa. Nah, di pulau Karimunjawa itulah sosok burung
Garuda raksasa terlihat sedang mencengkeram seekor kerbau. Coba kita bayangkan
seberapa besar burung Garuda tersebut...! Banyak sekali cerita-cerita aneh tentang Nusantara ini
yang di ceritakan dalam buku "Marcopolo" yang diterbitkan oleh
kedutaan besar Italia di Jakarta dari jaman petualangan para saudagar dan
nahkoda Portugis pada awal abad XVI (antara tahun 1510) sampai jaman kolonialis
Belanda.
Bangsa dan negara-negara di dunia mungkin sudah biasa
atau lazim mengunakan lambang dan symbol Burung Garuda sebagai lambang resmi
negara mereka termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, Umur lambang negara AS
yang berbentuk burung Garuda kurang lebih berumur 237 tahun, sedangkan Garuda
Bhineka Tunggal Ika Republik Indonesia berumur sama dengan kemerdekaan bangsa
Indonesia tahun 1945.
Sejarah Asal Usul Lambang Negara Indonesia Garuda Pancasila
Lambang Negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang Negara Indonesia berbentuk burung garuda
yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang garuda), perisai
berbentuk menyerupai jantung yang di gantung dengan rantai pada leher Garuda,
dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap
satu" ditulis diatas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II
dari Pontianak yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan
diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet
Republik Indonesia Serikat Tanggal 11 Februari 1950. Lambang negara Garuda
Pancasila diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958.
Garuda muncul dalam berbagai kisah terutama di daerah Jawa
dan Bali. Dalam berberapa kisah, Garuda menggambarkan kebajikan, pengetahuan,
kekuatan, keberanian, kesetiaan dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda
juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta.
Dalam tradisi Bali, Garuda sangat dimuliakan, sebagai raja agung para burung.
Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh,
sayap dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya
digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan. Posisi mulia Garuda
menurut tradisi Indonesia sejak jaman dahulu inilah yang menjadikannya sebagai
simbo nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi pancasila. Tidak hanya
itu, Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional Indonesia.
Setelah perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949,
disusul dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi
Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (yang pada saat itu
Republik Indonesia Serikat) untuk memiliki lambang negara. Lalu pada tanggal 10
Januari 1950 dibentuklah Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di
bawah kordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan
susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M A
Pellaupessy, Moh. Natsir, dan RM Ng Poer Batjaraka sebagai anggota. Panitia ini
bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan
kepada Pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam bukunya yang berjudul
"Bung Hatta Menjawab" untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet
tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilihlah dua rancangan
lambang negara yang terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin
ditolak karena menyertakan sinar matahari, ini menggambarkan pengaruh Jepang
didalamnya. Setelah rancangan terpilih, dialoh intensif antara Sultan Hamid II,
Presiden RIS (Soekarno) dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan
untuk keperluan penyempurnaan rancangan tersebut. Merka bertiga sepakat
mengganti pita yang dicengkeram Garuda yang semula adalah pita merah putih,
menjadi putih semua dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal
Ika." Pada tanggal 8 Pebruari 1950, rancangan lambang negara yang
dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II, diajukam kepada presiden Soekarno.
Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk
dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap adanya gambar burung
Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai. Ini dianggap
terlalu bersifat mitologis. Lalu Sultan Hamid II pun kembali mengajukan
rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan, sehingga tercipta
bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut
kepada Kabinet RIS melalui Moh. Hatta sebagai perdana menteri pada saat itu.
Dalam bukunya berjudul "Sekitar Pancasila" yang diterbitkan oleh
Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, AG Pringgodigdo
menyebutkan bahwa rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya
diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.
Ketika itu gambar bentuk kepala rajawali garuda pancasila masih gundul dan
tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian
memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum
pada tanggal 15 Februari 1950. Pada tanggal 20 Maret 1950, Presiden Soekarno memerintahkan
seorang pelukis istana bernama Dullah untuk melukis kembali rancangan tersebut,
setelah sebelumnya juga telah diperbaiki dengan menambahkan jambul pada kepa
Sang Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkeram pita
dari semula di belakang ita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden
Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala
Garuda yang gundul terlalu mirip dengan Bald Eagle, lambang Negara Amerika
Serikat. Dan untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan
penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambahkan
skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara tersebut. Rancangan Garuda
Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas
yang disimpan dalam ruangan Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai lambang negara
RI dan desaainnya tidak berubah hingga kini. Lalu apa deskripsi dan arti filosofi dibalik lambang negara
ini?
1.Garuda Pancasila sendiri adalah burung garuda
yang sudah dikenal melelui mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu
kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan
sebagai lambang negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang
besar dan negara yang kuat.
2.Warna keemasan pada burung garuda menggambarkan
keagungan dan kejayaan.
3.Garuda memiliki paruh, sayap, ekor dan cakar
yang melambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan.
4.Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari
proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus tahun 1945, antara lain; 17
helai bulu pada masing-masing sayap, 8 helai bulu pada ekor, 19 helai bulu di
bawah perisai atau pada pangkal ekor dan 45 helai bulu pada leher.
Untuk Bagian perisai;
1.Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal
dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang
melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai
tujuan.
2.Ditengah perisai terdapat garis hitam tebal yang
melukiskan garis khatulistiwa. Ini menggambarkan lokasi Indonesia yaitu negara
tropis yang dilintasi garis tersebut yang membentang dari timur ke barat.
3.Warna dasar pada ruang perisai adalah merah dan
putih. Pembaca pasti sudah bisa menebak maknanya.
4.Pada perisai terdapat lima buah ruang yang
mewujudkan dasar negara Pancasila. Pengaturan lambang pada ruang perisai
adalah; Sila pertama Ketuhanan yang maha esa dilambangkan dengan cahaya di
bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar hitam, Sila
kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata
bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai berlatar merah. Sila ketiga
Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas
perisai berlatar putih. Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang dilambangkan dengan kepala
banteng di bagian kanan perisai berlatar merah, dan Sila kelima Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian
kanan bawah perisai berlatar putih.
Pita bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika"
1.Kedua cakar Garuda Pancasila mencengkeram
sehelai pita putih bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" berwarna hitam.
2.Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" adalah
kutipan dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, dimana kata
"Bhinneka" berarti beraneka ragam atau berbeda-beda,
"Tunggal" berarti satu, dan kata "Ika" berarti itu. Secara
harfiah dapat diterjemahkan "Beraneka satu itu", yang bermakana
meskipun berbeda-bea tetapi pada hakikatnya tetap adalah satu kesatuan, bahwa
diantara puspa ragam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini
digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia yang terdiri
atas beraneka ragam budaya, bahasa, ras,
suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Beberapa aturan penggunaan lambang negara ini diatur dalam
UUD 45 Pasal 36A dan UU No. 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang
negara serta lagu kebangsaan. Lambang negara ini wajib digunakan dalam :
1.gedung, kantor, atau ruang kelas satuan
pendidikan;
2.luar gedung atau kantor;
3.lembaran negara, tambahan lembaran negara,
berita negara, dan tambahan berita negara;
4.paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang
diterbitkan pemerintah;
RENCANA pemerintah untuk mempercepat pembangunan pariwisata Danau Toba akhir-akhir ini patut diapresiasi. Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi didampingi beberapa menteri turun langsung dan melakukan rapat terbatas bersama bupati-bupati di sekitar Danau Toba bertajuk ‘Bersatu untuk Danau Toba’, 1 Maret 2016. Semua bupati (Karo, Dairi, Simalungun, Samosir, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, dan Tapanuli Utara) hadir, termasuk pelaksana tugas gubernur Sumatera Utara.
Langkah seperti ini, di mana presiden memimpin langsung rapat para bupati di Danau Toba, adalah kali pertama dalam sejarah republik ini. Selama ini, rapat-rapat serupa hanya dipimpin pejabat setingkat gubernur dan menteri. Itu pun sangat jarang terjadi. Tatkala presiden turun tangan membahas persoalan teknis-sektoral, ini sudah mengindikasikan adanya keinginan pemerintah untuk bertindak cepat dan segera.
Sebelumnya, 9 Januari 2016 telah berlangsung rapat koordinasi Pengembangan Pariwisata Danau Toba di Laguboti, Toba Samosir, yang dipimpin langsung Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli. Rapat ini juga dihadiri Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Pariwisata Arif Yahya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Salah satu gagasan baru yang ramai diberitakan pasca pertemuan-pertemuan ini adalah pembentukan Badan Otorita Kawasan Danau Toba, selain peningkatan infrastruktur. Lembaga baru ini akan diberi kewenangan khusus dalam pengelolaan kawasan Danau Toba, seperti kewenangan perizinan terpadu lahan sebesar 500 hektar di kawasan yang ditetapkan. Gagasan ini dinilai berbagai pihak sebagai terobosan untuk mengatasi kemacetan-kemacetan yang menjadi penyakit birokrasi selama ini.
Danau Toba telah ditetapkan sebagai salah satu dari 10 destinasi utama wisata atau Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), selain Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, Bromo-Tengger-Semeru, Kepulauan Seribu, Wakatobi, Morotai, Tanjung Lesung, dan Tanjung Kelayang.
Masyarakat di sekitar Danau Toba menyambut sangat antusias rencana pemerintah ini. Selain karena figur Presiden Jokowi yang dinilai sangat meyakinkan—pemenang mutlak dalam pilpres di semua kabupaten di kawasan Danau Toba, ekspektasi yang sangat besar ini muncul di tengah tren menurunnya kepariwisataan Danau Toba dan apatisme publik yang telah berlangsung hampir 20 tahun belakangan ini.
Kondisi Danau Toba Saat Ini
Kondisi pariwisata Danau Toba pernah mengalami masa-masa emas pada 1980-1990-an bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada masa Orde Baru yang mencapai 6-7 persen per tahun. Pada 1980-an, Indonesia menikmati pendapatan besar dari bonanza minyak bumi. Pertumbuhan ekonomi negeri kita saat itu tergolong paling maju di kawasan, sehingga dijuluki “Asian Miracle” oleh Bank Dunia.
Sejak pertengahan 1980-an, pembangunan infrastruktur digalakkan: bendungan, bandara, pelabuhan, dan jalan-jalan antar provinsi dibangun dengan mulus. Sektor pariwisata dengan sendirinya terdongkrak, termasuk Danau Toba. Pada masa itu, Danau Toba menjadi destinasi wisata ketiga setelah Bali dan Borobudur.
Belakangan kita menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi Orde Baru itu ternyata semu karena didanai oleh utang luar negeri. Ketika krisis moneter 1997 menyerang kawasan Asia Tenggara, ekonomi kita pun ambruk. Sektor pariwisata pun terpukul sebab anggaran untuk membiayai infrastruktur merosot drastis, bahkan terbengkalai.
Otonomi daerah membuat kondisi kawasan Danau Toba semakin menurun dari tahun ke tahun. Kebijakan desentralisasi ini mendorong demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat, namun ia juga berdampak pada menguatnya egoisme antardaerah. Pembangunan yang tadinya bersifat sentralistik, kemudian bergantung pada visi dan skala prioritas yang ditetapkan kepala daerah.
Dalam konteks Danau Toba, fungsi koordinatif Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menurun bersamaan dengan menguatnya kewenangan para bupati. Danau Toba pun tercecer karena tujuh kabupaten di sekitarnya memiliki skala prioritas masing-masing dan mereka jarang sekali dapat mempertemukan gagasan bersama secara kongkrit untuk memajukan pariwisata Danau Toba. Bahkan, para bupati ini berlomba-lomba mengeruk sumber daya alam, melalui izin penebangan hutan yang semakin memperburuk ekosistem.
Jika Anda mengunjungi Danau Toba saat ini, Anda akan menjumpai hal-hal di luar dugaan, yang berbanding terbalik dengan masyhurnya danau terbesar di Asia Tenggara itu. Jalan utama dari Medan-Parapat via Siantar banyak berlubang dan mengalami longsor, membuat waktu tempuh 174 kilometer menjadi sekitar 4-5 jam. Belum termasuk kemacetan pada akhir pekan dan musim libur.
Begitu juga dari arah selatan, Sibolga atau Padang Sidempuan via Tarutung menuju Parapat kondisinya lebih buruk lagi. Jalan-jalan negara sepanjang 160-an kilometer sering menjadi kubangan-kubangan air pada musim hujan. Jarak tempuh menjadi dua kali lipat dan melelahkan.
Sementara itu, alternatif pesawat udara dari Bandara Kuala Namu ke Silangit masing sangat terbatas waktu dan intensitas. Pemerintah, juga dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi, memutuskan peningkatan kapasitas bandara dan sedang dikerjakan, sehingga dapat didarati pesawat berbadan lebar.
Transportasi darat akan tetap menjadi pilihan utama penduduk kawasan Danau Toba ke masa mendatang karena faktor persebaran penduduk dalam wilayah yang cukup luas. Karena itu, pembangunan jalan tol Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi—yang merupakan bagian dari kebijakan percepatan pembangunan (MP3EI) di masa pemerintahan SBY—diperkirakan dapat beroperasi pada 2017 diharapkan menjadi solusi masalah transportasi ini. Medan-Parapat diperkirakan dapat ditempuh hanya dalam waktu 3 jam.
Setibanya di Danau Toba, Anda akan disambut hamparan danau biru nan luas, iklim yang sejuk. Namun, pemandangan yang indah ini telah dirusak oleh keberadaan ratusan, bahkan ribuan petak keramba jala apung (KJA) milik perusahaan ikan asal Swiss dan masyarakat. KJA bukan hanya merusak pemandangan, tapi juga kualitas air karena residu dari ratusan ton pakan ikan yang ditabur ke KJA setiap hari. Di Urung Panei, Simalungun, terdapat peternakan babi skala besar, yang pembuangan limbahnya mengalir ke Danau Toba.
Masih banyak masalah yang akan segera terasa ketika memasuki wilayah Danau Toba. Mulai sarana penyeberangan ke Pulau Samosir yang terbatas; pembangunan hotel, villa, restoran dengan melakukan reklamasi pantai yang menyalahi aturan; wilayah pantai yang terbatas akses umum karena diokupasi hotel dan bisnis lain; hingga pembuangan sampah sembarangan.
Banyak pihak menyoroti perilaku penduduk setempat yang kurang sadar wisata. Hal ini sangat penting diperbaiki, tapi menurut saya merupakan masalah yang terlalu dibesar-besarkan. Tanpa bermaksud membenarkan, di setiap daerah wisata di mana pun di dunia ini, kita akan selalu menjumpai orang-orang yang kurang menyenangkan, penipu, atau pencuri.
Dalam konteks Danau Toba, masyarakat Batak yang terdiri dari lima sub-etnis (Toba, Simalungun, Mandailing, Karo, dan Pak-Pak) memiliki nilai-nilai dan kearifan tradisi yang sangat menghargai pendatang yang sampai saat ini masih terpelihara dan dapat direvitalisasi.
Warisan Orde Baru
Di samping hal-hal yang sudah diutarakan, problem paling besar Danau Toba saat ini adalah kerusakan ekosistem yang sudah terjadi sejak Orde Baru. Dulu, Danau Toba dikelilingi hutan alam yang rindang. Hutan alam ini menjadi sumber air sekitar 200 sungai kecil dan besar yang mengairi areal perawahan yang luas dan sumber air minum penduduk, dan pada akhirnya bermuara ke Danau Toba.
Wilayah hutan alam inilah yang dikenal sebagai daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba, yang luasnya mencapai 369.590 ha, meliputi 4 Dati II (sebelum pemekaran), yakni Tapanuli Utara seluas 225.579 ha, Simalungun 21.980 ha, Dairi 6.455 ha, Karo 5.580 ha. Dari luas DTA tersebut, hanya 65.719 ha yang sudah dimasukkan sebagai kawasan hutan register, berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan 140.625 ha, sedangkan selebihnya merupakan lahan masyarakat (tanah adat) (Sirait, 1999:334).
Perubahan ekosistem Danau Toba berlangsung secara drastis sejak berdirinya PT Inalum (Proyek Asahan II) yang terdiri dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pabrik peleburan aluminium (1975), diikuti dengan pendirian pabrik pulp dan paper PT Inti Indorayon Utama (1986). Kedua industri raksasa inilah, terutama yang terakhir, yang paling bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan Danau Toba, seperti penggundulan hutan dan menurunnya permukaan air Danau Toba.
PT Inalum mengeruk dasar Sungai Asahan (sebagai satu-satunya outlet Danau Toba), agar debit air mampu memutir delapan turbin PLTA Tangga dan PLTA Siguragura. Akibatnya, permukaan air danau sering berfluktuasi sesuai dengan kebutuhan kedua PLTA, yang seluruh arus listriknya dipakai untuk pabrik peleburan aluminium di Kuala Tanjung. Tercatat sudah tiga kali geger susutnya air Danau Toba, yakni tahun 1982, 1986, 2002, yang sangat meresahkan masyarakat. Dan yang tak boleh dilupakan, pembangunan kedua PLTA ini telah melenyapkan dua air terjun (sampuran) yang indah dan masyhur: Sampuran Siguragura dan Siharimau.
Kini, di hulu Sungai Asahan telah berdiri pula PLTA dengan kapasitas 2×90 MW (Proyek Asahan I) oleh perusahaan swasta nasional PT Bajradaya Sentranusa dan investor dari Negeri China. Sedangkan di hilir, direncanakan akan dibangun lagi PLTA dengan kapasitas 2×77 MW (Proyek Asahan III) oleh PLN, dengan dana pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Masalahnya, diperlukan debit air yang stabil (longterm stable flow) untuk memastikan ketiga proyek tersebut bisa beroperasi maksimal nanti, di mana jalan satu-satunya adalah dengan mengekploitasi (baca: menguras) air Danau Toba!
Perusakan ekosistem Danau Toba semakin parah karena aktivitas PT Inti Indorayon Utama, yang kini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Pabrik pulp (yang awalnya juga memproduksi paper) ini melakukan penggundulan hutan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba, mulai dari Sibatuloting (Simalungun), Pulau Samosir, Dataran Tinggi Humbang dan Tapanuli Utara, dan kasus yang paling mutakhir adalah penggundulan hutan kemenyan di Pollung dan Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan, yang mendapat perlawanan keras dari petani kemenyan. Hutan menjadi gundul dan disulap menjadi hutan tanaman industri (HTI) yang berisi pohon eukaliptus yang rakus air.
Badan Otorita: Hindari Masalah Baru
Kembali ke rencana pemerintah membentuk badan otorita sebagai single management pengembangan pariwisata di seluruh kawasan Danau Toba. Kajian Delima Silalahi dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Parapat, Sumatera Utara, menunjukkan bahwa badan ini memiliki kewenangan yang sangat besar dalam merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah-tanah di kawasan Danau Toba untuk keperluan pariwisata sesuai dengan Pasal 21 Draft Peraturan Presiden tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Danau Toba. Ketentuan ini senafas dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Menurutnya, pasal ini sangat berpotensi menciptakan masalah baru karena ketentuan ini belum mengacu pada prinsip-prinsip keadilan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia, yang dikenal dengan prinsip free prior and informed consent. Secara sederhana, prinsip ini mensyaratkan penghargaan terhadap hak masyarakat untuk menyatakan setuju atau tidak pada sebuah proyek pembangunan di wilayah mereka, setelah terlebih dahulu memperoleh informasi yang jelas dan cukup. Kekuatiran ini bukan tanpa alasan, karena sebagian besar tanah di kawasan Danau Toba adalah tanah adat yang secara administrasi belum memiliki sertifikat.
Inilah masalah-masalah yang menjadi tantangan serius dalam pengembangan pariwisata Danau Toba, yang perlu diselesaikan satu per satu ke masa mendatang. Pemerintah dan pihak-pihak terkait diharapkan tidak hanya terpaku pada aspek-aspek infrastruktur, manajemen, dan budaya di level permukaan; melainkan melalui pendekatan yang komprehensif dan holistik.
Sehingga, pertanyaan sebagaimana disampaikan pada judul tulisan ini sangat relevan diajukan: Danau Toba, apa yang mau dibangun?