Mengikuti perkembangan
belakangan ini, membuat kita harus merenungkan kembali makna berbangsa dan
bernegara berdasarkan Pancasila yang menekankan pada semboyan yang dicengkram
kuat oleh kaki burung garuda, BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Apakah toleransi atas ke-bhinneka-an
itu adalah sesuatu yang semu dan fiktif belaka? Terpaksa dan tidak tulus dari
hati? Hanya agar “sekonyong-konyong” di mata dunia, kitalah bangsa yang paling berjasa
ber-“telolet”? Mungkin hanya kita dan Tuhan yang tahu, apa yang ada dalam pikiran
kita. Atau perlu kita pertanyakan pada rumput yang bergoyang?
Tak dapat kita tampik bahwa
memang pada saat-saat menjelang terjadinya proses demokratisasi baik melalui
pilpres, pilleg, ataupun pilkada, banyak terjadi hal-hal yang kita sendiri
tidak mengetahui apa yang harus kita perbuat, mereka yang telah melakukannya-pun
“tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Inikah pesta demokrasi itu? Ataukah ini sebagai
sebuah pertanda “musibah reformasi”? Dan bagaimana masa depan bangsa dan negara ini? Akankah kita simpan dengan rapi dan lebih dalam di rak, kaset-kaset Gombloh yang bernuansa nasionalisme, seperti Kebyar Kebyar? Mungkinkah sebagian di antara kita ini sudah setengah gila? Jika memang demikian, saya hanya berpesan, jangan gila-lah...
Terkadang geli bercampur geram
kita melihat keadaan. Kemanakah sirna nurani embun pagi, yang biasanya ramah dari bangsa ini? Kita memang sudah ditakdirkan menjadi
manusia-manusia yang sabar dan tidak gampang “terbakar”. Kita syukurilah itu,
sebab jika tidak, maka kita-pun akan hangus di dalamnya. Bukan hanya dengan
mereka yang memiliki perbedaan secara prinsip relatif jauh hal-hal begini
terjadi, tetapi dengan kita yang sealiran-pun kerap hal seperti ini juga
terjadi. Jika kita meniliknya semua dari sudut perbedaan, tentu antar saudara
kembar-pun akan ada perbedaan. Sehingga akan ada celah untuk mengatakan bahwa
si A1 dan A2 memang berbeda.
Dalam cerita humor pewayangan,
memang segala sesuatu itu ada pakemnya. Kisah berikut ini hanya sekedar illustrasi belaka. Tetapi agar kita sedikit banyak merenungkan artinya perbedaan yang ada di antara kita, termasuk perbedaan pilihan politik.
Karang
Kedampel kembali heboh. Setelah hilangnya Semar dalam jagat Arus Bawah-nya
Cak Nun, si tua bertubuh tambun itu pun muncul kembali. Kini, kehadirannya
untuk menentukan keputusan yang nggak amat-amat penting, tetapi sangat diperlukan
untuk meluruskan sejarah dan menjaga adat budaya.
“Sudah
semestinya Petruk diberi pelajaran, Romo,” ujar Gareng, sambil melinting
tembakau srintil-nya.
“Hmm…, apa
sebetulnya kamu ingin mengatakan kalau Romomu ini tidak mendidik adikmu, Reng?”
tanya Semar yang leyeh-leyeh di dipan bambu.
“Bukan
begitu, Mo. Tetapi alangkah baiknya jika si hidung panjang itu dikasih
pelajaran lagi. Ya, agar tindak-tanduknya tidak merusak kebangsawanan
keluarga.”
Semar yang
mendengar hanya mesem kecut. Ia paham maksud anaknya, tetapi salah apa si
Petruk. Bukankah memang begitu kelakuannya: menerjang aturan yang berlaku?
“Tingkah
laku Petruk sudah menjadi perbincangan hangat di jagat maya, Mo. Kemarin, saat merti
desa tiba-tiba ia kentut yang tidak selazimnya,” ungkap Gareng.
“Lha
dalah…, apa kentut bukan hal yang lazim, Reng? Bukankah kentut memang
begitu adanya: keluar dan menyesap ke semua hidung?”
“Tetapi
kentut Petruk sudah merusak tatanan, merobohkan paugeran desa, Mo. Boleh
saja kentut, tetapi mbok ya sesuai dengan aturan yang berlaku.”
“Hahaha….
Kamu mengada-ada, Reng. Kentut kok merusak paugeran. Sejak kapan kentut
masuk paugeran?”
“Sejak orang
menyepakati perihal bunyi kentut, Mo.”
“Siapa yang
menyepakatinya?”
“Orang-orang
yang ahli kentut dan membunyikannya dengan baik. Lalu, ilmu berkentut itu
diturunkan kepada orang-orang di sekitarnya.”
“Apa mereka
yang menerima ilmu berkentut itu mengikuti?”
“Iya, Mo.
Bahkan, saking banyaknya peminat, para suhu itu akhirnya membuka kursus
berkentut. Semakin hari semakin banyak peminatnya. Mereka sampai kerepotan
mengasuhnya. Kemudian, mereka mempunyai ide untuk membuat jadwal kursus kentut
yang sahih.”
Semar hanya
bisa dlongo mendengar ujaran anaknya.
“Romo nggak
usah heran. Itulah kenyataannya di Kareng Kedampel ini. Seharusnya Romo sebagai
lurah lebih mahfum perihal kentut.”
“Yang aku
heran, kok ya ada orang tertarik dengan cara berkentut, Reng.”
“Lha,
Romo ini bagaimana, bukankah kentut menunjukkan kepribadian seseorang? Semakin
pintar berkentut berarti orang yang bersangkutan juga lihai dalam kehidupannya,
Mo. Apa Romo tidak pernah kentut sehingga tidak tahu cara berkentut?”
“Ngawur
kamu. Aku kentut saat orang-orang sedang tidur, sedang berkelana di alam
mimpinya. Bahkan, kentutku di alam mimpi, Reng.”
“Romo hebat.”
Semar
menggeliat, perutnya sedikit mules. Ada sesuatu yang ingin menyeruak dari
lubang anginnya, tetapi cepat-cepat ia menahannya. Sebab, ia sudah terlanjur berucap
kalau kentutnya hanya pada saat mimpi. “Lantas, apa yang dihebohkan dari
kentutnya Petruk, Reng?” tanyanya kemudian.
“Kentut
Petruk tidak selumrahnya kentutnya orang-orang Karang Kedampel, Mo. Boleh
dibilang, kentutnya Petruk membuat runyam Jonggring Saloko. Nah, yang
dikhawatirkan para penduduk Karang Kedampel adalah murkanya Sang Hyang.”
“Wah, segitu
gawatkah, Reng?”
“Bisa jadi,
Mo.” Gareng berhenti sejenak. Hidungnya yang mulai mbeler ia usap dengan
kaus partai yang ia dapatkan dari kampanye kemarin. Ia bertutur lagi, “Romo
pasti tahu, kalau tata cara membunyikan kentut di Karang Kedampel hanya ada tujuh
jenis: cas, ces, cis, cos, cus, tut, dan tot.
Kemarin, bunyi kentutnya Petruk tidak memenuhi kelima jenis cara berkentut
tersebut.”
“Terus,
bunyi kentutnya Petruk bagaimana Reng?”
“Pokoknya
lucu, Mo. Konon, kentutnya Petruk membuat telinga orang merasa geli. Ada yang
beda.”
“Hahaha…,
jangan-jangan mereka yang protes itu memang tidak akrab dengan bunyi kentutnya
Petruk?”
“Jelaslah,
Mo. Kalau akrab tentu mereka tidak akan protes dan menganggap kentutnya Petruk
itu bid’ah mughaladhah!”
“Hahaha…,
pasti orang-orang protes itu ketularan penyakit dari Negeri Kolo-Kolo, Reng.”
“Aku tidak
tahu, Mo. Yang pasti, tugas Romo sekarang adalah membenarkan cara berkentutnya
Petruk. Jangan sampai Sang Hyang murka hanya gara-gara kentut yang merusak paugeran.”
“Sebentar,
Reng. Sebelum kita menegur Petruk, alangkah baiknya kalau kita mencoba
menelisik bunyi kentut yang sudah menjadi pakem di Karang Kedampel ini.”
Keduanya
diam sejenak, tetapi tangan mereka saling berebut ubi rebus yang tinggal
secuil. Ah, akhirnya Gareng yang berhasil mengambil sisa camilan tersebut.
“Apakah kamu
tahu, Reng, kalau sejatinya Sang Hyang memakemkan bunyi kentut?”
“Tidak, Mo.
Yang aku tahu sekadar ‘berkentutlah yang sopan’. Itu saja.”
“Kalau
begitu, berarti Dia membolehkan hamba-Nya kentut dengan suara-suara tertentu,
misalnya kentut ala Petruk?”
“Aku juga
tidak tahu, Mo. Mungkin saja boleh.”
“Kalau kamu
tidak tahu, kenapa ikut-ikutan menghujat kentutnya Petruk?”
“Karena
orang-orang mengatakan kentutnya Petruk tidak sesuai pakem, Mo.”
“Pakem yang tujuh
itu?”
“Iya, masak
ada lagi?”
“Lantas,
kamu tahu asal-usul, sejarah, munculnya tata cara membunyikan kentut yang tujuh
itu?”
“Tidak, Mo.
Yang aku tahu, konon, bunyi kentut yang sudah menjadi pakem itu diajarkan oleh
para guru yang datang dari negeri seberang.”
“Bagaimana
kalau ternyata pakem perkentutan yang telah diajarkan oleh para guru itu tidak
lain sebuah kebiasaan melagukan kentut dari negeri asalnya? Gampangnya, kentut
itu hanyalah bunyi-bunyian hasil budaya dari negeri tersebut?”
“Bisa jadi,
Mo. Namun, itu sudah menjadi lagu yang diamini banyak orang, Mo. Siapa yang
ingin berkentut, selagi masih di Karang Kedampel, harus manut dengan paugeran
tersebut.”
“Nah, inilah
celakanya kita. Tidak pernah menelisik asal-usul tersebut. Kita hanya manut
dan menganggap bunyi kentut yang tujuh itu seolah-olah dari langit. Padahal,
Sang Hyang menciptakan kentut yang sama. Yang membedakan adalah dari silit
siapa gas beracun itu keluar. Soal bunyi, itu sangat tergantung bentuk dan
tebal tipisnya lubang angin tersebut. Tak ada perintah melagukan kentut, yang
ada adalah berkentutlah dengan baik.”
“Kalau
begitu, apa kelak akan ada kentut yang dibunyikan dengan jazz, Mo?”
“Boleh jadi.
Tetapi, aku kira sangat-sangat tidak mungkin.”
“Kenapa,
Mo?”
“Ya, selagi masih
ada paugeran seperti yang kamu katakan itu.”
Hingga
sekarang kentut Petruk menjadi berita hangat di media-media online
Karang Kedampel. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Padahal, masyarakat
kahyangan adem ayem menghadapi kentutnya Petruk. Biasalah dunia online,
maya, siapalah yang tahu batang hidungnya.
Dan
kehidupan Karang Kedampel yang suka membesar-besarkan masalah akan terus begitu
sampai elek, sampai tuek. Pokoknya njeplak, eksis, njeplak,
eksis. Dan itu sudah gawan bayi. Makanya
berisik!