Friday, February 12, 2016

Roma dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma




Roma adalah ibu kota Italia, ibu kota Provinsi Roma dan juga ibu kota daerah Lazio. Kota ini terletak di hilir sungai Tiber, dekat Laut Tengah. Roma merupakan  kota yang menakjubkan membawa visi misteri, asmara, dan sejarah. Tidak peduli dari mana Anda melihat, Anda akan mendengar atau membaca tentang kejadian yang unik dan menarik dari Roma.

Sejarah kota ini sangat panjang, kota ini pernah menjadi pusat Kerajaan Romawi, Republik Romawi dan Kekaisaran Romawi, dan belakangan negara Kepausan, Kerajaan Italia, dan kini Republik Italia. Hingga kota ini dikenal dengan julukan “Kota Abadi” karena usianya yang hampir mencapai 3000 tahun.

Dalam mitologi Romawi, kota Roma diyakini didirikan oleh saudara kembar Romulus dan Remus, yang lahir dari pasangan dewa perang, Mars dan Perawan Vestal, Rhea Silvia. Setelah lahir, kedua anak ini dikisahkan terombang-ambing di Sungai Tiber dan ditemukan oleh seekor serigala betina. Alih-alih menjadikannya santapan, serigala betina memutuskan untuk merawat Romulus dan Remus. Keduanya lantas ditemukan oleh seorang gembala bernama Faustulus dan mengasuhnya hingga dewasa. Di kemudian hari, kedua saudara kembar ini mampu menggulingkan raja sebuah kota di Italia bernama Alba Longa. Setelah berkuasa keduanya lantas mendirikan kota Roma.

Ketenaran kota Roma ini hingga meggugah Idrus, sastrawan, tokoh reformasi prosa dan puisi,  jaman perang kemerdekaan untuk membuat sebuah kisah dalam bukunya yang terkenal itu. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, kita dapat melihat semacam evolusi Idrus dari gaya romantik ke gaya khas satir tragikomiknya yang belum banyak dianut saat itu.  Ringkas, lincah, dan lugas, dan mampu menjungkirbalikkan kesakralan heroisme revolusi.

Dalam satu bagiannya Corat-Coret di Bawah Tanah, di bawah judul yang sedikit mengingatkan kita pada Notes from the Underground Dostoyevsky, kita menemukan cerita-cerita tajam realistis humoris, menggelitik, acuh, selalu tajam, apa yang disebut Jassin sebagai sikap jiwa masa bodoh terhadap peristiwa-peristiwa yang dianggap besar di masa itu, juga oleh disebut Jassin sebagai kesederhanaan baru.

Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma



Thursday, February 11, 2016

Pembelaan diri sang jenggot


Mengapa pula orang sibuk untuk membicarakan sekedar jenggot? Coba bayangkan, orang-orang suci di masa silam gemar berjenggot panjang, tetapi mengapa pengikutnya malah memandang rendah orang yang berjenggot?



Seandainya saja kami bangsa jenggot bisa memilih, kami akan memilih tumbuh di dagu-dagu orang beken, anggota dewan yang lagi ngetop akibat ingin membubarkan DPD, atau pejabat-pejabat yang ongkang-ongkang di kantor, atau pengusaha-pengusaha yang mabuk anggur yang ditumpahkan di selangkangan gula-gula mereka.

Atau bahkan kami akan memilih untuk tumbuh dan menikmati  tumbuh di dagu wanita-wanita cantik itu. sehingga lebih terurus tata letak, distribusi, dan dominasinya.



Setidaknya dengan memilih di sana, kami bisa menikmati kemewahan-kemewahan anggota dewan, menikmati segarnya ruangan-ruangan dengan tata udara ruang mewah, atau saja bisa menonton film-film biru gratis, limited edition, tauke-tauke di jet-jet pribadi mereka.



Sekarang katakan kepadaku, apakah kau ingin membunuhku?

Aku lebih kenal kau, bahkan sebelum kau lahir dari rahim ibumu. Aku juga tumbuh di sana, di rahim ibumu. Lalu aku ikut lahir, lalu akan ikut ke alam kubur, dan ikut dibangkitkan. Ikut ke surga jika kelak kau ke surga, ke neraka, jika akhirnya demikian.



Lalu sekarang, apa masalahmu denganku?



Yk, 11 Feb 2016 Masehi

The day of 4.541 after married, 15.148 after born.

Sajak Kenalan Lamamu




Pengarang: W.S Rendra

Kini kita saling berpandangan saudara,
Ragu-ragu apa pula,
Kita memang pernah berjumpa,
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
Tergencet oleh penumpang berjubel,
Dari Yogya ke Jakarta,
Aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
Dengan alas kertas koran,
Sambil memeluk satu anakmu,
Sementara istrimu meneteki bayinya,
Terbaring di sebelahmu,
Pernah pula kita satu truk,
Duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
Sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
Dan lalu sama-sama kaget,
Ketika truk tiba-tiba terhenti,
Kerna distop oleh polisi,
Yang menarik pungutan tidak resmi,
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
Kerna sama-sama anak jalan raya.

Hidup macam apa ini !
Orang-orang dipindah ke sana ke mari,
Bukan dari tujuan ke tujuan,
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.

Kini kita bersandingan, saudara.
Kamu kenal bau bajuku,
Jangan kamu ragu-ragu,
Kita memang pernah bertemu,
Waktu itu hujan rinai,
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah,
Tepat pada waktu kamu juga menariknya,
Kita saling berpandangan,
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu,
Aku membuka mulut,
Hendak berkata sesuatu……
Tak sempat !
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
Aku melihat kamu,
Membawa helaian plastik itu,
Ke satu gubuk karton,
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
Dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
Sebungkus nasi yang dicuri,
Itulah santapan,
Kolong kios buku di terminal,
Itulah peraduan,
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
Karena kita anak jadah bangsa yang mulia.

Hidup macam apa hidup ini,
Di taman yang gelap orang menjual badan,
Agar mulutnya tersumpal makan,
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan,
Agar pantatnya diganjal sedan.

Duabelas pasang payudara gemerlapan,
Bertatahkan intan permata di sekitar putingnya,
Dan di bawah semuanya,
Celana dalam sutera warna kesumba,
Ya, saudara,
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
Ragu-ragu apa pula,
Kita memang pernah berjumpa.
Kita telah menyaksikan,
Betapa para pembesar,
Menjilati selangkang wanita,
Sambil kepalanya diguyur anggur.
Ya, kita sama-sama germo,
Yang menjahitkan jas di Singapura,
Mencat rambut di pangkuan bintang film,
Main golf, main mahyong,
Dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.

Hidup dalam khayalan,
Hidup dalam kenyataan……
Tak ada bedanya.
Kerna khayalan dinyatakan,
Dan kenyataan dikhayalkan,
Di dalam peradaban fatamorgana.

Ayo,  jangan lagi sangsi,
Kamu kenal suara batukku,
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar,
Ya, memang aku.

Temanmu dulu,
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu,
Bergiliran meniduri gula-gulanya,
Dan mengintip ibumu main serong,
Dengan ajudan ayahmu,

Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita,
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
Dan akhirnya menggeletak di emper toko,
Di samping kere di Malioboro,
Kita alami semua ini,
Kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.

Hidup melayang-layang,
Selangit,
Melayang-layang.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
Meninggi…. Ke awan……
Peraturan dan hukuman,
Kitalah yang empunya.
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
Di atas sol sepatu kita.
Kitalah gelandangan kaya,
Yang perlu meyakinkan diri,
Dengan pembunuhan.

Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan,
Kini kita bertemu lagi,
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
Kita memang pernah bertemu,
Bukankah tadi telah kamu kenal,
Betapa derap langkahku ?

Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
Membakari mobil-mobil,
Melambaikan poster-poster,
Dan berderap maju, berdemonstrasi.
Kita telah sama-sama merancang strategi
Di panti pijit dan restoran,
Dengan arloji emas,
Secara teliti kita susun jadwal waktu,
Bergadang, berunding di larut kelam,
Sambil mendekap hostess di kelab malam,
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.

Politik adalah cara merampok dunia,
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
Untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan,
Dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
Lalu ke mobil sport, lalu helikopter !
Politik adalah festival dan pekan olah raga,
Politik adalah wadah kegiatan kesenian,
Dan bila ada orang banyak bacot,
Kita cap ia sok pahlawan.

Dimanakah kunang-kunang di malam hari ?
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
Di hari-hari yang berat,
Aku cari kacamataku,
Dan tidak ketemu.

Ya, inilah aku ini !
Jangan lagi sangsi !
Inilah bau ketiakku,
Inilah suara batukku,
Kamu telah menjamahku,
Jangan lagi kamu ragu.

Telah sama-sama berdiri di sini,
Melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
Gunung yang kelabu membara,
Kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani,
Di putar blue-film di dalamnya.

Kekayaan melimpah,
Kemiskinan melimpah,
Darah melimpah,
Ludah menyembur dan melimpah,
Waktu melanda dan melimpah,
Lalu muncullah banjir suara,
Suara-suara di kolong meja,
Suara-suara di dalam lacu,
Suara-suara di dalam pici,
Dan akhirnya...
Dunia terbakar oleh tatawarna,
Warna-warna nilon dan plastik,
Warna-warna seribu warna,
Tidak luntur semuanya,
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi,
Dari suatu kejadian,
Yang kita tidak tahu apa-apa,
Namun lahir dari perbuatan kita.

Yogyakarta, 21 Juni 1977

Friday, February 5, 2016

Selamat jalan , , ,



Berduka atas kepergianmu, orangtua, teman, guru dan entah apapun yang patut untuk melukisan kebaikanmu,



Bukan darah yang mengalirkan di antara kita, tetapi kita telah melewati batas-batas itu,


Lima tahun atau mungkin lebih, dan serasa jauh lebih lama daripada itu,


Sekalipun hanya pertemuan yang tidak panjang denganmu,

Tapi aku telah memaknai bahwa engkau adalah orang yang baik, bapak yang sederhana, sesosok polisi yang mungkin amat langka ditemui belakangan ini,



Aku masih ingat, ban sepeda motor kita bocor, hingga kita bergantian menuntunnya mungkin 4 atau 5 km untuk menemukan tambal ban yang masih buka di sepinya malam kota Medan.

Mungkin juga itu bukan lagi malam, tetapi menjelang pagi.



Di atas segala kenangan itu,

Atas kepergianmu dipanggil oleh Tuhan kita pencipta segala mahluk,

Hanya rasa ikut bersedih bersama keluarga yang engkau tinggalkan,

Semoga ibu dan adek-adek yang ganteng dan manis-manis ini,

Kelak akan mewarisi kebaikan hatimu.



Tenanglah di surga,

Engkau sudah tidak merasakan kepedihan lagi,

Penderitaanmu atas penyakitmu,

Sudah menjadi kebahagiaan, sukacita,



Semoga saja engkau melihat dari alam sana,

Memberi kami yang masih bergulat dengan kehidupan ini, teladan yang engkau ajarkan lewat perilaku baik dan sederhana sehari-harimu.



Selamat jalan , , ,

Teriring salam dan doa buat ibu dan adek-adek yang engkau tinggalkan.



Untukmu: Viktor Sirait